KOMPAS.com - Mantan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo resmi ditetapkan sebagai tersangka dugaan pemerasan dalam jabatan dan penerimaan gratifikasi di Kementerian Pertanian (Kementan).
Penetapan tersangka Syahrul diumumkan oleh Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Johanis Tanak di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (11/10/2023).
Syahrul ditetapkan sebagai tersangka setelah dirinya diduga membuat kebijakan untuk memungut atau meminta setoran kepada aparatur sipil negara (ASN) di Kementan.
Syahrul menginstruksikan Sekretaris Jenderal Kementan Kasdi Subagyono dan Direktur Alat dan Mesin Pertanian Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian Kementan Hatta untuk menarik uang dari ASN Kementan.
"Uang panas" yang diduga dinikmati oleh ketiganya sebesar Rp 13,9 miliar dan digunakan untuk kebutuhan pribadi Syahrul beserta keluarganya, termasuk untuk membayar cicilan mobil Alphard.
"Sumber uang yang digunakan di antaranya berasal dari realisasi anggaran Kementerian Pertanian yang sudah di-mark up," ujar Tanak dikutip dari Kompas.id, Rabu.
Sebelum Syahrul ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, dua adiknya sudah lebih dulu terjerembap dalam pusaran kasus korupsi.
Berdasarkan catatan Kompas.com, Senin (2/10/2023), dua adik Syahrul bernama Dewie Yasin Limpo dan Haris Yasin Limpo juga pernah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi.
Berikut kasus korupsi yang menjerat dua adik Syahrul Yasin Limpo:
Baca juga: Sepak Terjang dan Harta Kekayaan Syahrul Yasin Limpo yang Mundur dari Kursi Mentan
KPK pernah menetapkan Dewie sebagai tersangka kasus suap proyek pembangkit listrik di Papua.
Ia terbukti menerima suap sebesar 177.700 dollar Singapura atau sekitar Rp 2 miliar terkait proyek pembakit listrik yang berada di Kabupaten Deiyai, Papua pada 2015.
Pada saat ditetapkan sebagai tersangka, Dewie masih menjabat sebagai anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Hanura.
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta memvonis Dewie dengan hukuman enam tahun penjara.
Dewie sempat melakukan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta, namun hukumannya justru diperberat menjadi delapan tahun penjara.
Hakim turut menjatuhkan hukuman berupa pencabutan hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik.