Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menteri Ajak Masyarakat Tinggalkan Kendaraan Pribadi untuk Atasi Polusi Udara, Warganet Singgung soal Mobil Dinas

Kompas.com - 05/09/2023, 06:15 WIB
Alinda Hardiantoro,
Sari Hardiyanto

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Kendaraan pribadi versus kendaraan dinas belum lama ini tengah menjadi topik hangat di media sosial X, dulunya Twitter.

Hal ini dipicu imbauan para menteri Kabinet Indonesia Maju yang menyarankan agar masyarakat meninggalkan kendaraan pribadi dan beralih ke transportasi umum dengan diresmikannya LRT Jabodebek.

Imbauan tersebut disampaikan salah satunya oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Senin (28/8/2023).

"Kita harapkan dengan makin banyak masyarakat menggunakan fasilitas transportasi umum tentu akan mengurangi juga mobilitas menggunakan mobil pribadi dan memperbaiki kualitas dari udara di daerah Jabodebek,” ujar Sri Mulyani, dilansir dari Kompas.com, Senin.

Senada dengan bendahara negara itu, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir juga mengatakan bahwa masyarakat perlu beralih ke angkutan umum sebagai bentuk partisipasi dalam menyelesaikan masalah polusi di ibu kota.

Permasalahan polusi udara di DKI Jakarta belakangan ini memang ramai diperbincangkan usai ibu kota dinyatakan sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di dunia.

Baca juga: Buruknya Kualitas Udara di Jakarta, Penuaan Dini, dan Risiko Kanker...

Baca juga: Pro Kontra Penyemprotan Air untuk Tangani Polusi Udara Jakarta

Warganet singgung soal mobil dinas

Imbauan para Menteri Presiden Joko Widodo itu justru mendapat respons negatif dari warganet.

Mereka ramai menyinggung penggunaan mobil dinas yang digunakan para menteri.

"Dimulai dari para pejabat eselon, menteri dan jendral serta para ASN, Jadi besok2 gak usah ada anggaran mobil dinas, gak perlu voreder2 an juga, begitukah kira2?" tulis @Stev********.

"Mereka para menteri sudah meninggalkan kendaraan pribadi sejak menjabat, Kan udah pakai kendaraan dinas menteri," tutur @LDjas****.

"Yang ngomong ke mana2 msh pake mobil dinas berpatwal tet tat tet tot. Pejabatnya cm 1. Mobil yg ngawal minimal 2, pengawalnya paling enggak ada 8," tulis @disinis****.

Baca juga: Apakah Pengobatan Penyakit akibat Polusi Udara Ditanggung BPJS Kesehatan?

Imbauan bentuk kepanikan pemerintah

Modifikasi cuaca dengan penyemprotan air untuk mengatasi polusi udara. Uji coba Pertamina dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan menggunakan teknologi water spray buatan BRIN, penyemprotan air dilakukan di gedung tinggi Pertamina.DOC ISTIMEWA/PERTAMINA Modifikasi cuaca dengan penyemprotan air untuk mengatasi polusi udara. Uji coba Pertamina dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan menggunakan teknologi water spray buatan BRIN, penyemprotan air dilakukan di gedung tinggi Pertamina.

Dosen Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM) Gabriel Lele mengatakan, imbauan yang disampaikan para menteri itu merupakan bentuk dari kepanikan pemerintah dalam mengatasi polusi udara di DKI Jakarta.

"Ini bukan sebuah kebijakan yang dirancang secara baik. Hanya panik saja karena ada publikasi polusi udara yang meningkat lalu tiba-tiba mulailah ramai," kata Gabriel, saat dihubungi Kompas.com, Selasa (29/8/2023).

Menurutnya, imbauan pemerintah kepada masyarakat untuk meniggalkan kendaraan pribadi itu merupakan gestur politik simbolik yang dibuat dalam kondisi panik.

"Imbauan itu hanya gestur politik simbolik yang dibuat lebih tepatnya dalam kondisi panik. Padahal sebenarnya yang kita butuhkan dan ini harusnya dilakukan sejak dulu, adalah soal kajian penyebab sekaligus alternatif alternatif untuk mengatasi polusi udara itu," kata dia.

Baca juga: Kualitas Udara Jakarta Buruk, Ini Cara Mencegah Infeksi Pernapasan

Tidak berbasis riset

Gabriel juga mengatakan, imbauan para menteri supaya masyarakat meninggalkan kendaraan pribadi itu tidak berbasis pada riset terkait penyebab polusi udara di ibu kota.

"Kalau itu berhenti dengan sekadar imbauan, enggak ada rumusnya di dalam kehidupan bernegara kita meminta seseorang untuk melakukan perubahan perilaku yang sudah lama dipraktikkan hanya dengan imbauan," terangnya.

Dengan kata lain, pemerintah memerlukan sesuatu yang strategis dan harus diikuti dengan kebijakan yang tegas berbasis regulasi.

Baca juga: Apa yang Dimaksud dengan Uji Emisi Kendaraan Bermotor? Berikut Penjelasannya

Selain itu, Gabriel menyatakan bahwa untuk mengubah kebiasaan tersebut, dibutuhkan sebuah keteladanan dari para menteri.

"Jadi kalau sudah ada aturan, sebaik apa pun aturan kalau tidak ada keteladanan, tidak akan bisa berjalan secara efektif," kata Gabriel.

Pasalnya, masyarakat Indonesia masih hidup dalam budaya paternalistik yang sangat tinggi. Budaya paternalistik merupakan suatu sistem yang menempatkan pimpinan sebagai pihak yang paling dominan.

Artinya, jika pemimpinnya memberikan contoh, maka masyarakat akan mengikutinya. Begitu juga sebaliknya.

Baca juga: Ini Masker yang Efektif untuk Tangkal Polusi Udara

Di sisi lain, pemerintah juga perlu menyediakan alternatif jika serius ingin mengubah kebiasaan masyarakat menggunakan kendaraan pribadi.

"(Misalnya) kalau saya dilarang menggunakan kendaraan pribadi, apa alternatif yang sudah disiapkan oleh pemerintah bagi saya?" tanya Gabriel.

Alternatif itu bisa dalam bentuk peningkatan kenyamanan dan keamanan transportasi umum.

Diberitakan sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar mengatakan bahwa penyebab kualitas udara di DKI Jakarta dan sekitarnya buruk karena asap kendaraan bermotor dan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).

"Jadi dikonfirmasi kembali bahwa angka-angka yang dilihat sebagai sumber pencemaran atau pun penurunan kualitas udara Jabodetabek yaitu 44 persen kendaraan, 34 persen PLTU dan sisanya adalah lain-lain, termasuk dari rumah tangga, pembakaran dan lain-lain," ucapnya.

Baca juga: Puncak Musim Kemarau, Karhutla, dan Wilayah yang Berpotensi Alami Kekeringan...

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com