KOMPAS.com - Kasus perundungan di lingkungan program pendidikan dokter spesialis (PPDS) atau dokter residen terus mendapat sorotan.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) kini telah menerima hampir 100 pengaduan dugaan perundungan hingga 15 Agustus 2023.
Laporan tersebut dibuka sejak Juli 2023 menyusul maraknya cerita calon dokter residen yang kerap mengalami perundungan.
Rincian data pengaduan tersebut adalah 44 laporan terjadi di rumah sakit yang dikelola oleh Kemenkes, 17 laporan dari RSUD di 6 provinsi, 16 laporan dari FK di 8 provinsi, 6 laporan dari RS milik universitas, 1 laporan dari RS TNI/Polri, dan 1 laporan dari RS swasta.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sebelumnya pernah mengungkap beragam jenis praktik perundungan dokter residen.
Baca juga: 3 Rumah Sakit Ditegur Kemenkes Buntut Perundungan Dokter, Mana Saja?
Baca juga: Kisah Firmansyah, Anak SD yang Viral Usai Disebut Pindah ke SLB karena Di-bully
Dikutip dari pemberitaan Kompas.com (20/7/2023), para dokter residen kerap dijadikan sebagai pembantu atau asisten dari dokter senior.
Sayangnya, mereka tidak menerima tugas berkaitan dengan materi pendidikan calon dokter spesialis.
Layaknya asisten rumah tangga, para calon dokter residen ini justru diberi tugas layaknya seorang pembantu yang mengurusi tugas rumah tangga.
"Saya bisa sebutkan contoh yang saya sering dengar. Nomor satu adalah kelompok di mana peserta didik ini digunakan sebagai asisten, sekretaris, sebagai pembantu pribadi," kata Budi.
"Suruh nganterin laundry, bayar laundry, nganterin anak, ngurusin parkir. Jadi asisten pribadi," sambungnya.
Baca juga: Ada Praktik Perundungan, Kemenkes Tegur 3 Rumah Sakit Termasuk RSCM
Tak hanya itu, Budi juga menerima laporan adanya dokter residen yang diminta mengumpulkan uang hingga ratusan juta rupiah.
Menurutnya, uang tersebut digunakan untuk keperluan pribadi dokter senior.
Misalnya, membayar rumah kontrakan untuk dokter senior berkumpul dengan nilai mencapai Rp 50 juta per tahun.
Budi menuturkan, beberapa di antara dokter residen juga kerap dimintai bantuan untuk mengerjakan tugas para dokter senior.
Tugas-tugas itu meliputi penulisan jurnal ilmiah dan membuat penelitian.
Kondisi ini pun membuat para dokter residen tidak menerima hak yang semestinya untuk belajar.
"Akibatnya kasihan juniornya. Dia harusnya belajar untuk memperdalam spesialisasi yang diinginkan," ujarnya.
"Kemudian suruh ngerjain sebagai asisten pribadi buat tugas untuk seniornya, yang tidak ada hubungannya dengan spesialisasinya," lanjutnya.
Baca juga: Benarkah Labu Kuning Bisa untuk Mengobati Diare pada Kucing? Ini Penjelasan Dokter Hewan
Jenis perundungan lainnya yang pernah diungkap Budi adalah dokter residen diminta membelikan makanan dokter senior.
Padahal, makanan tersebut sebenarnya telah disediakan oleh rumah sakit.
"Praktik suka sampai malam, sama rumah sakit dikasih makan malam. Makan malamnya enggak enak, kita maunya makanan Jepang," jelas dia.
"Jadi tiap malam mesti keluarkan Rp 5 juta-Rp 10 juta untuk seluruhnya kasih makan-makanan Jepang," sambungnya.
Selain itu, dokter residen juga beberapa kali diminta untuk menyewakan lapangan dan perlengkapan olahraga oleh dokter senior.
Baca juga: Benarkah Sering Merasa Haus Jadi Pertanda Diabetes? Ini Kata Dokter
(Sumber: Kompas.com/Fika Nurul Ulya | Editor: Icha Rastika, Bagus Santosa)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.