Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dandi Supriadi, MA (SUT), PhD,
Dosen Jurnalistik

Kepala Kantor Komunikasi Publik Universtas Padjadjaran. Dosen Program Studi Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad. Selain minatnya di bidang Jurnalisme Digital, lulusan pendidikan S3 bidang jurnalistik di University of Gloucestershire, Inggris ini juga merupakan staf peneliti Pusat Studi Komunikasi Lingkungan Unpad.

Perkembangan Teknologi Komunikasi dalam Kacamata Teori Klasik (Bagian II)

Kompas.com - 13/08/2023, 11:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Penjelasan dari Teori CMC

Contoh-contoh tadi menunjukkan manusia saat ini memiliki rasa kedekatan dengan perangkat yang dia pakai. Kedekatan tersebut lebih bersifat psikologis, di mana seseorang merasakan adanya kehadiran pihak lain dengan cukup intens melalui perantara gawai yang ia pegang.

Kedekatan atau keintiman tersebut dalam beberapa kasus berpengaruh pada kehidupan di dunia nyata, sehingga menimbulkan apa yang disebut 'kecanduan gawai' atau gadget addiction.

Kita diingatkan akan kasus seorang balita yang secara psikomotorik terganggu karena terlampau intens menggunakan gawai untuk menonton tayangan digital.

Dalam teori-teori Computer Mediated Communication (CMC) era 1990-an, ada teori yang menerangkan fenomena semacam ini yang disebut Teori Persamaan Media atau Media Equations Theory.

Byron Reeves dan Clifford Nass (1996), yang memperkenalkan teori ini dalam penelitan mereka, menggambarkan bahwa dalam konteks komunikasi menggunakan perangkat, baik itu radio, televisi, komputer, ataupun media digital lainnya, interaksi yang terjadi pada dasarnya adalah sosial dan alami.

Dengan demikian, hubungan yang terjadi antara manusia dengan gawainya seperti layaknya interaksi antarmanusia dalam kehidupan nyata (Holmes, 2005; Reeves & Nass, 1996).

Teori ini menjelaskan mengapa kemudian para pengguna perangkat komunikasi memperlakukan alat tersebut dengan kedekatan yang familiar.

Teori ini berasumsi bahwa teknologi adalah perpanjangan kehidupan manusia yang sebenarnya.

Artinya, saat manusia tidak menemukan unsur yang biasa ada dalam kehidupannya, dia akan mencari substitusinya yang memiliki karakter sama.

Teknologi hadir dengan berbagai fasilitasnya untuk membantu menghadirkan unsur tersebut. Dalam kasus orang yang bangun tidur lalu menulis status di gawainya, sesungguhnya ia sedang mencari orang lain dalam kehidupan sosialnya yang dapat menjadi temannya berbagi cerita.

Gawai yang ia punyai memiliki kemampuan untuk menjembatani itu, sehingga itulah yang kemudian digunakan, kemudian memperpanjang maksudnya untuk mencapai orang yang dia cari di tempat berbeda.

Lalu dalam kasus antusias masyarakat dalam penggunaan chatbot seperti RizzGPT atau ChatGPT, menurut perspektif teori ini, disebabkan karena memang aplikasi-aplikasi tersebut memiliki kapabilitas dan fasilitas untuk menjembatani ketiadaan dalam dunia nyata.

Seperti Mario dari serial Mario Bross, misalnya, adalah karakter yang tidak mungkin dapat diajak mengobrol di dunia nyata.

Dengan adanya aplikasi AI seperti ini, keinginan tersebut diwujudkan atau diperpanjang sehingga seakan-akan kegiatan mengobrol itu terjadi.

Dari ulasan di atas terlihat bahwa Teori Persamaan Media di atas dapat menjelaskan dan menggambarkan fenomena yang terjadi saat ini.

Namun ternyata, seperti yang juga diterangkan dalam artikel Bagian Pertama, teori ini dianggap memiliki banyak kekurangan kontekstual terutama dalam hal analisis sosial.

Teori ini lebih banyak berbicara tentang kemampuan teknologi untuk memperpanjang kebutuhan manusia tanpa banyak membahas segi psikologisnya.

Kenyataannya, keintiman pengguna gawai dengan perangkat komunikasinya, serta kebutuhan psikologis untuk melakukan personifikasi benda adalah sebuah aktivisme sosial.

Teori CMC klasik yang lebih sosial

Kritik terhadap Teori Perpanjangan Media membawa kita kembali ke pembahasan teori klasik tahun 1970-an yang dibahas dalam artikel bagian pertama.

Di sinilah letak kemampuan The Electronic Propinquity Theory atau Teori Kedekatan Elektronik dalam menjelaskan mengapa teknologi komunikasi saat ini dengan mudah dikenal, disukai, dan dipakai masyarakat.

Korzenny, pemrakarsa teori ini tahun 1978, memilih untuk lebih melihat fenomena kedekatan manusia dengan perangkat elektronik dengan cara fenomenologis.

Dengan cara inilah ia dapat berurusan dengan kedekatan yang bersifat lebih ke psikologis daripada fisik atau teknis.

Dengan menggunakan ilmu Sosiologi, Korzenny menggunakan perspektif organisasi, di mana organisasi kemudian dikonseptualisasikan sebagai sistem kehidupan.

Untuk menerangkan bagian-bagian sistemnya, digunakan pendekatan fungsionalisme struktural (Korzenny, 1978; Supriadi, 2020).

Ini adalah pendekatan yang memungkinkan Korzenny membuat proposisi tentang bagaimana kedekatan psikologis terhadap teknologi itu dirasakan oleh manusia. Apakah kedekatannya sangat besar, atau sebaliknya, sangat kecil.

Korzenny setidaknya mendapatkan delapan proposisi yang berasal dari penjabaran melalui pendekatan fungsionalisme struktural tadi.

Dalam artikel ini, akan dijelaskan enam proposisi saja yang relevan. Pertama, semakin besar jumlah informasi yang dirasakan, semakin besar propinquity yang terjadi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com