KOMPAS.com - Pidana mati atau hukuman mati adalah salah satu jenis pidana yang masih berlaku di Indonesia.
Menurut Wetboek van Strafrecht alias Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang selama ini digunakan, hukuman mati merupakan pidana pokok paling berat.
Namun, berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP atau selanjutnya disebut KUHP baru, pidana mati bukan lagi pidana pokok.
Merujuk Pasal 67 KUHP baru, hukuman mati adalah pidana bersifat khusus yang selalu diancamkan secara alternatif.
Roeslan Salah dalam Stelsel Pidana Indonesia (1987) menjelaskan, hukuman mati atau pidana mati adalah jenis pidana terberat menurut hukum positif Indonesia.
Bahkan, kebanyakan negara tidak lagi mencantumkan pidana mati di dalam kitab undang-undang hukum pidananya.
Oleh karena itu, jenis hukuman ini kerap hanya sebagai kultur historis dan tak lagi diterapkan.
Hukuman mati sendiri menjadi jenis pidana paling banyak diperdebatkan. Di satu sisi, banyak yang pro terhadap pelaksanaan hukuman mati. Namun, tak sedikit yang menentang pelaksanaan salah satu jenis pidana pokok ini.
Merujuk Jurnal Lex Crimen (2017), alasan pendukung pidana mati adalah adanya peningkatan kualitas dan kuantitas kejahatan dari waktu ke waktu.
Guna mengatasi masalah ini, para penjahat dianggap perlu diberi terapi kejutan berupa pidana mati, terutama bagi penjahat tertentu yang tak lagi dapat diharapkan untuk berubah.
Sementara kelompok kontra, memberikan alasan bahwa pidana mati bersifat final, sehingga sekali dijatuhkan tidak dapat lagi diperbaiki meski terjadi kekeliruan terhadap terpidana.
Bukan hanya itu, mereka juga berpendapat, pidana mati akan menutup kemungkinan bagi terpidana untuk memperbaiki kesalahannya di masa yang akan datang.
Baca juga: Hukum: Pengertian, Unsur, Tujuan, Fungsi, dan Sumbernya
Menurut Pasal 11 KUHP, pidana mati dijalankan oleh algojo di tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana.
Kemudian, menjatuhkan papan tempat terpidana tersebut berdiri.
Kendati demikian, ketentuan Pasal 11 KUHP diubah dengan UU Nomor 02/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Pengadilan Umum dan Militer.
Pasal 1 UU tersebut mengatur, pelaksanaan hukuman mati yang dijatuhkan Peradilan Umum maupun Peradilan Militer dilakukan dengan ditembak sampai mati.
Selanjutnya, ketentuan UU Nomor 02/Pnps/1964 ini disempurnakan dengan Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati.
Adapun dalam KUHP, beberapa tindak pidana mendapat ancaman berupa hukuman mati. Dilansir dari Jurnal Syiar Hukum (2007), tindak pidana tersebut, antara lain:
Hukuman mati di Indonesia juga diatur di luar KUHP. Misalnya, pada UU Narkotika, UU Terorisme, dan UU Tindak Pidana Korupsi.
Baca juga: Mengenal Hukuman Mati di Indonesia: Dasar Hukum dan Detail Pelaksanaannya
Pidana mati atau hukuman mati sebagai jenis pidana khusus diatur mulai Pasal 98 sampai Pasal 102 KUHP baru.
Bukan hanya menjadi pidana bersifat khusus, hukuman mati dalam KUHP baru juga diancamkan dengan masa percobaan selama 10 tahun.
Masa percobaan ini menjadi pertimbangan dengan harapan adanya perubahan perilaku dan penyesalan dari terpidana.
Pasal 100 KUHP baru mengatur, hakim menjatuhkan hukuman mati dengan percobaan selama 10 tahun dengan memperhatikan:
Nantinya, pidana mati dengan masa percobaan ini wajib dicantumkan dalam putusan pengadilan.
Tenggat masa percobaan 10 tahun dihitung sejak 1 hari setelah putusan berkekuatan hukum tetap atau inkrah.
Apabila terpidana dalam kurun 10 tahun masa percobaan menunjukkan perubahan sikap dan perbuatan terpuji, hukuman mati dapat diubah menjadi penjara seumur hidup.
Perubahan hukuman ini ditetapkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung (MA).
Namun, apabila terpidana sepanjang masa percobaan tidak menunjukkan perubahan sikap dan tidak ada harapan untuk diperbaiki, maka hukuman mati tetap dilaksanakan atas perintah jaksa agung.
Nantinya, hukuman mati baru dilaksanakan setelah permohonan grasi terpidana telah ditolak presiden.
Di sisi lain, menurut Pasal 99 ayat (4), pelaksanaan hukuman mati ditunda untuk:
KUHP baru juga mengatur, apabila permohonan grasi ditolak, tetapi eksekusi pidana mati tidak dilaksanakan dalam kurun waktu 10 tahun bukan karena terpidana melarikan diri, hukuman mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup melalui Keppres.
Baca juga: Sederet Orang yang Divonis Hukuman Mati di Indonesia
Merujuk Pasal 99 ayat (2) dan (3) KUHP baru, hukuman mati tidak dilaksanakan di muka umum.
Hukuman mati sendiri dilaksanakan dengan menembak terpidana sampai mati oleh regu tembak atau dengan cara lain yang ditentukan dalam undang-undang.
Berdasarkan UU Nomor 02/Pnps/1964, tiga kali 24 jam sebelum eksekusi, jaksa akan memberitahukan terpidana tentang rencana hukuman mati.
Apabila terpidana hamil, maka hukuman mati dapat dilaksanakan 40 hari setelah anaknya dilahirkan.
Sebelum eksekusi, Kapolda akan membentuk regu tembak yang terdiri dari 1 Bintara, 12 Tamtama, di bawah pimpinan seorang Perwira.
Semua regu tembak berasal dari Korps Brigade Mobil atau Brimob.
Selanjutnya, berikut tata cara pelaksanaan hukuman mati di Indonesia, seperti diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2010:
Setelah penembakan, Komandan Pelaksana, jaksa eksekutor, dan dokter memeriksa kondisi terpidana.
Apabila dokter mengatakan terpidana masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan, maka jaksa memerintahkan Komandan Pelaksana untuk melakukan penembakan pengakhir.
Pelaksanaan hukuman mati dinyatakan selesai saat dokter tidak lagi menemukan tanda-tanda kehidupan pada terpidana.
Kemudian, Komandan Pelaksana pun melaporkan hasil penembakan kepada jaksa eksekutor dengan mengucapkan, "Pelaksanaan pidana mati selesai".
Baca juga: Pidana Penjara Seumur Hidup, Berapa Lama?
Menimbulkan pro dan kontra, hukuman mati di Indonesia menurut Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 2-3/PUU-V/2007 tidak bertentangan dengan hak hidup yang dijamin UUD 1945.
Putusan MK tertanggal 27 Oktober 2007 tersebut menolak uji materi hukuman mati dalam UU Narkotika.
Menurut MK, hak asasi dalam konstitusi harus digunakan untuk menghargai dan menghormati hak asasi orang lain.
Dengan demikian, hak asasi manusia (HAM) harus dibatasi dengan instrumen undang-undang. Seperti, hak untuk hidup tidak boleh dikurangi kecuali telah diputuskan oleh pengadilan.
Selain itu, Putusan MK Nomor 21/PUU-VI/2008 juga mengatakan, cara pelaksanaan pidana mati dengan ditembak seperti diatur dalam UU Nomor 02/Pnps/1964 tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Oleh karena itu, pelaksanaan pidana mati dengan ditembak sampai mati tidak melanggar HAM, khusus hak untuk tidak disiksa seperti dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.
Rasa sakit yang dialami terpidana mati karena ditembak merupakan konsekuensi logis yang melekat dalam proses kematian sebagai akibat pelaksanaan hukuman mati.
Sehingga, tidak termasuk kategori penyiksaan terhadap diri terpidana mati.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.