Kulminasi terjadi karena bidang ekuator atau bidang rotasi Bumi tidak tepat berimpit dengan bidang ekliptika atau bidang revolusi Bumi.
Hal ini menyebabkan posisi Matahari dari Bumi akan terlihat terus berubah sepanjang tahun antara 23,5 derajat LU hingga 23,5 derajat LS saat dilihat dari Bumi.
Kulminasi akan terjadi di negara yang berada di garis khatulistiwa, termasuk Indonesia. Sementara kulminasi utama di wilayah Indonesia akan terjadi dua kali dalam setahun.
Baca juga: Mengapa Seseorang Bisa Pingsan di Bawah Terik Matahari?
Senada dengan penjelasan Andi Pangerang, LAPAN menyatakan peristiwa kulminasi tidak memberikan dampak khusus pada iklim Bumi.
Namun, posisi kulminasi dapat menimbulkan Bumi terkena sinar Matahari yang lebih intens. Akibatnya, ini bisa menyebabkan sun outage atau gangguan terhadap sinyal satelit saat menerima atau mengirimkan data akibat gelombang sinar Matahari.
Fenomena sun outage terjadi saat Matahari berada di arah yang sama dengan kedatangan sinyal setelit komunikasi yang mengitari Bumi di ketinggian 36.000 kilometer.
Baca juga: Studi Sebut Paparan Sinar Matahari Dapat Mengecilkan Perut Buncit, Bagaimana Bisa?
Saat ini, antena di wilayah Indonesia akan sulit menerima sinyal dengan normal selama kurang dari 10 menit.
Selain itu, penelitian yang dilakukan mahasiswa Universitas Tanjungpura Pontianak mengungkapkan kulminasi akan meningkatkan suhu udara.
Hal ini menimbulkan titik api atau hotspot yang lebih tinggi dibandingkan dengan waktu lainnya.
Akibatnya, peningkatan suhu permukaan dan udara dapat menyebabkan peningkatan potensi
kebakaran hutan. Kejadian ini terutama berpotensi terjadi di Kalimantan Barat atau di area lahan gambut.
Baca juga: Mengenal Heliophobia, Fobia pada Matahari, Gejala dan Penyebabnya
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.