Menurut Justito, jasa joki karya ilmiah bukan hal baru. Pada 2019, ia mengaku pernah menemukan jasa joki karya ilmiah yang ditawarkan melalui media sosial Facebook.
"Fenomena gelondongan semacam itu atau tawaran semacam itu, saya sendiri bahkan dari 2019 pernah melihat fenomena tersebut dan dapat tawaran tapi lewat Facebook," ungkapnya.
Justito menduga, praktik jasa joki karya ilmiah ini muncul sejak ada kewajiban bagi dosen untuk mempublikasikan jurnal internasional.
"Dosen-dosen di Indonesia itu mulai tercambuk untuk menulis di artikel, entah itu jurnal internasional ataupun scopus, itu baru benar-benar kejadian setelah tahun 2010," kata Justito.
Di bidang ilmu yang diambil Justito misalnya, peningkatan publikasi secara signifikan terjadi setelah 2010.
"Jadi usianya mungkin baru 13 tahun. Nah, di periode tersebut, pemerintah itu memberikan semacam kewajiban pada dosen untuk menulis dan melakukan penelitian," kata dia.
Padahal, pada awal atau sebelum reformasi, kewajiban tersebut belum mengikat pada para dosen.
Akhirnya dengan kondisi tersebut, diduga banyak yang kaget dan mereka ngambil jalan pintas.
"Karena bagaimanapun di jurnal internasional kalau memang lewat jalur yang biasa itu prosesnya cukup panjang. Karena artikel digital internasional butuh waktu yang lama hingga satu tahun," jelas Justito.
Baca juga: Twit Viral Peserta UTBK Pakai Joki Rp 300 Juta, Ini Penjelasan LTMPT
Sebagai dosen, Justito menyayangkan munculnya fenomena praktik joki karya ilmiah ini. Dia mengaitkan tindak penggunaan jasa joki karya ilmiah sebagai bentuk pertentangan etika seorang dosen.
Dalam beberapa kasus, tindak perjokian ini juga bisa berujung pada sanksi yang diberikan oleh pihak universitas.
"Kalau kita bicara soal produksi ilmu pengetahuan, yang dibutuhkan kan kompetisi yang sehat antar dosen untuk bisa riset karena kompetisi ini kaitannya dengan resource," kata dia.
"Nah, hal tersebut yang jadi problem sih yang kita lihat kalau dalam lingkup ini. Apalagi ini nanti kalau dihubungkan sama kompetisi yang enggak sehat untuk bisa jadi dosen," imbuh dia.
Hal tersebut tentunya akan berdampak pada integritas dosen perguruan tinggi.
Baca juga: Cegah Joki, Seleksi Sekolah Kedinasan Gunakan Face Recognition