Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ramai soal Joki Karya Ilmiah di Kalangan Dosen, Segini Tarifnya

KOMPAS.com - Jasa joki karya ilmiah diduga mulai bergerak secara terang-terang. Mereka menawarkan jasa joki karya ilmiah melalui pesan WhatsApp.

Salah satu bukti jasa joki karya ilmiah yang menyasar para dosen dibagikan oleh @justitoadi melalui utas di laman Twitternya. 

"Kelakuan korup di dunia akademik ada banyak celahnya. Gua pernah ujug-ujug diinvite ke grup dosen yang kayaknya isinya dari mana2. Gua bahkan gak tau yg invite dapet nomer kontak gua dari mana. Lalu ada iklan macem ini, dan gua iseng japri," tulisnya, Jumat (10/2/2023).

"Ya lu kira-kira sendiri, pelanggannya siapa. Kalo ditracing nama artikel yang ditawarin, mestinya sih ketemu juga siapa2nya sekarang yang ngisi slot namanya," imbuh Justito pada utasnya.

Penjelasan pengunggah

Terkait adanya dugaan jasa joki karya ilmiah, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran, Justito mengaku awalnya dirinya diundang ke dalam grup "perjokian" pada sekitar 2021.

"Saya masuk grup itu 2021, kan biasa ya di-invite masuk ke grup yang enggak jelas, pas saya lihat judulnya itu "Dosen Ilmu Komunikasi" gitu lah," terang Justito, saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (11/2/2023).

Justito beberapa kali sempat iseng membuka grup tersebut pada 2021 dan awal 2022.

Untuk membayar rasa penasarannya, dia kemudian memutuskan mengirimkan pesan kepada admin grup tersebut tanpa ada tendensi untuk menggunakan jasa tersebut.

Namun, beberapa bulan terakhir, Justito mengatakan bahwa grup tersebut sudah tidak aktif. Bahkan beberapa anggotanya meninggalkan grup.

"(Sekarang) grup itu cuman untuk tawaran gammarly atau event-event gitu," tandas dia.


Dugaan kemunculan jasa joki

Menurut Justito, jasa joki karya ilmiah bukan hal baru. Pada 2019, ia mengaku pernah menemukan jasa joki karya ilmiah yang ditawarkan melalui media sosial Facebook.

"Fenomena gelondongan semacam itu atau tawaran semacam itu, saya sendiri bahkan dari 2019 pernah melihat fenomena tersebut dan dapat tawaran tapi lewat Facebook," ungkapnya.

Justito menduga, praktik jasa joki karya ilmiah ini muncul sejak ada kewajiban bagi dosen untuk mempublikasikan jurnal internasional.

"Dosen-dosen di Indonesia itu mulai tercambuk untuk menulis di artikel, entah itu jurnal internasional ataupun scopus, itu baru benar-benar kejadian setelah tahun 2010," kata Justito.

Di bidang ilmu yang diambil Justito misalnya, peningkatan publikasi secara signifikan terjadi setelah 2010.

"Jadi usianya mungkin baru 13 tahun. Nah, di periode tersebut, pemerintah itu memberikan semacam kewajiban pada dosen untuk menulis dan melakukan penelitian," kata dia. 

Padahal, pada awal atau sebelum reformasi, kewajiban tersebut belum mengikat pada para dosen.

Akhirnya dengan kondisi tersebut, diduga banyak yang kaget dan mereka ngambil jalan pintas.

"Karena bagaimanapun di jurnal internasional kalau memang lewat jalur yang biasa itu prosesnya cukup panjang. Karena artikel digital internasional butuh waktu yang lama hingga satu tahun," jelas Justito.

Bertentangan dengan etika

Sebagai dosen, Justito menyayangkan munculnya fenomena praktik joki karya ilmiah ini. Dia mengaitkan tindak penggunaan jasa joki karya ilmiah sebagai bentuk pertentangan etika seorang dosen.

Dalam beberapa kasus, tindak perjokian ini juga bisa berujung pada sanksi yang diberikan oleh pihak universitas.

"Kalau kita bicara soal produksi ilmu pengetahuan, yang dibutuhkan kan kompetisi yang sehat antar dosen untuk bisa riset karena kompetisi ini kaitannya dengan resource," kata dia.

"Nah, hal tersebut yang jadi problem sih yang kita lihat kalau dalam lingkup ini. Apalagi ini nanti kalau dihubungkan sama kompetisi yang enggak sehat untuk bisa jadi dosen," imbuh dia.

Hal tersebut tentunya akan berdampak pada integritas dosen perguruan tinggi.


Pengamat pendidikan: kegagalan pendidikan karakter

Dihubungi secara terpisah, pengamat pendidikan, Ina Liem mengatakan bahwa maraknya praktik jasa joki karya ilmiah ini menunjukkan kegagalan pendidikan karakter di Indonesia.

Menurut Ina, selama ini pendidikan di Indonesia terfokus pada memberi aturan, tanpa disertai dengan penjelasan atau pengertian moral values yang ingin ditanamkan.

"Jadi mental bangsa kita, kalau ada aturan dan ada 'polisi' atau penjaga baru takut dan nurut, tapi kalau tidak diawasi ya banyak yang melanggar," terangnya, saat dikonfirmasi oleh Kompas.com, Sabtu (11/2/2023).

Hal tersebut berbalik dengan tujuan pendidikan karakter yang mampu membedakan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh secara etika.

"Peristiwa ini juga menunjukkan mental menerabas, mencari jalur pintas untuk mencapai tujuan, tidak mengajarkan perjuangan, kegigihan dan kejujuran, kebanggaan atas usaha sendiri, tapi bisa-bisanya bangga dengan prestasi orang lain (joki)," tandas Ina.

"Ini kan juga mental mencuri. Semua ini hasil pendidikan karakter yang lemah selama bertahun-tahun," imbuhnya.

Menurut Ina, praktik perjokian menjadi masalah yang lebih parah ketika jasa tersebut digunakan oleh para pengajar, baik guru maupun dosen.

Sebab, mereka adalah pendidik yang diharapkan mendidik generasi muda termasuk pembentukan karakter.

Sedangkan cara mendidik paling efektif adalah dengan memberi contoh dan melibatkan peserta didik.

"Apabila dosennya memberi contoh menggunakan jasa joki, ini kan memberi contoh yang buruk bagi peserta didik," tandasnya.

Kewajiban publikasi jurnal perlu dipertimbangkan

Presiden Asosiasi Internasional Penerbit, Editor, dan Peninjau Ilmiah (IASPER) Djuwari juga menyampaikan bahwa menggunakan jasa joki karya ilmiah bertentangan dengan kode etik dosen.

Menurut Djuwari, praktik perjokian di dunia akademis ini bisa dihindari dengan mempertimbangkan kembali kewajiban dosen untuk publikasi jurnal internasional.

"Khusus yang bayar mahal terbit artikel sebagai syarat lulus tesis S2 dan disertasi S3, tidak perlu terbit di jurnal yang mahal itu," terangnya kepada Kompas.com, Sabtu (11/2/2023).

Menurutnya, kewajiban publikasi artikel bagi dosen tetap harus mengutamakan poin penting, seperti jujur, tidak plagiat, dan hasil riset sendiri.

"Nomor satu jujur. Tentang jurnal ilmiah tidak harus yang terindex scopus, yang penting original," tandas Djuwari.

Dilansir dari Harian Kompas, (10/2/2023) salah satu modus perjokian adalah dengan membentuk tim khusus yang menyiapkan artikel untuk diterbitkan di jurnal internasional bereputasi.

Nantinya, tim tersebut akan menyematkan nama dosen-dosen senior yang ingin menjadi guru besar atau naik pangkat, sebagai daftar penulis di karya ilmiah.

Meski pun dosen-dosen senior itu tak memiliki kontribusi aktif dalam pembuatan karya ilmiah yang hendak dipublikasikan di jurnal bereputasi.

Kegiatan ini diduga untuk mendongkrak angka kredit dan meningkatkan akreditasi kampus.

https://www.kompas.com/tren/read/2023/02/13/180000465/ramai-soal-joki-karya-ilmiah-di-kalangan-dosen-segini-tarifnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke