Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Hutan Adat Bukan Hutan Negara, Lantas Hutan Apa?

Kompas.com - 04/02/2023, 08:40 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Dalam sebuah diskusi di Jakarta pada 23 November 2021, Ketua Panitia Kerja RUU Masyarakat Hukum Adat, Willy Aditya mengatakan, salah satu hal yang membuat RUU itu tidak pernah disahkan dalam rapat paripurna DPR adalah tidak adanya kemauan politik, baik dari presiden maupun DPR.

Padahal tujuh fraksi sudah sepakat melanjutkan RUU itu sebagai hak inisiatif DPR hasil pleno Badan Legislatif, sementara dua fraksi menolak. Mereka yang menolak tampaknya dihantui bayang-bayang bahwa RUU Masyarakat Hukum Adat akan menjadi hambatan bagi pembangunan dan investasi.

Status dan Posisi Hutan Adat Saat Ini

Meski hutan adat bukan hutan negara menurut keputusan MK, namun dalam praktiknya dalam tanda kutip posisi dan status hutan adat hingga saat ini diperlakukan sebagai hutan negara, sama halnya dengan hutan desa dan hutan kemasyarakatan.

Dalam UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja bidang kehutanan yang merevisi UU Nomor 41 tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, hutan adat masuk dalam salah satu skema dari lima skema kegiatan perhutanan sosial.

Sebagai salah satu kegiatan selain kegiatan TORA (tanah obyek reforma agraria) dalam program Reforma Agraria, kegiatan perhutanan sosial telah dilaksanakan sejak pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam periode pertama (2014-2019) hingga masa pemerintahan kedua (2019-2024) atau telah berlangsung selama delapan tahun lebih.

Dalam refleksi akhir tahun 2022 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 29 Desember 2022, dilaporkan capaian khusus kegiatan hutan adat pada tahun 2022 telah diterbitkan sebanyak 18 surat keputusan (SK) yang luasnya mencapai 76.780 hektar. Demikian total hutan adat telah mencapai 107 lokasi dengan luas 152.917 hektar.

Padahal, wilayah indikatif hutan adat pada 19 provinsi kurang lebih seluas 988.393 hektar atau pencapaian target luasnya baru mencapai 15,47 persen.

Lain lagi yang dilaporkan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). Hingga Desember 2022, BRWA telah melakukan registrasi sebanyak 1.167 peta wilayah adat dengan luas mencapai 21,3 juta hektar mencakup wilayah adat di 29 Provinsi dan 142 kabupaten/kota. Bila dipersentasekan dengan data BRWA ini maka pencapaian penetapan hutan adat hingga akhir 2022, baru sekitar 0,71 persen saja.

Dengan demikian, pantas kalau Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mendorong pemerintah melalui kementerian terkait untuk terus mempercepat penetapan hutan adat ini dengan memonitor capaian pengakuan di daerah dan memperluas kerja sama.

Hambatan Mendasar

Proses pengukuhan dan penetapan hutan adat dan masyarakat hukum adatnya selama ini memang berjalan lambat, meskipun pemerintahan Presiden Joko Widodo telah meletakkan dasar Nawacita dengan programnya membangun dari pinggiran sejak tahun 2014 –hingga hari ini (2023). Proses itu banyak menemui kendala, di antara adalah:

Pertama, pengakuan, pengukuhan, dan penetapan hutan adat dan masyarakat hukum adat melalui perda sangat membebani dan memberatkan masyarakat hukum adat itu sendiri. Perda adalah proses keputusan politik yang diambil para elite politik yang duduk di DPRD di tingkat kabupaten/kota yang sarat dengan berbagai kepentingan.

Seandainya pengakuan, pengukuhan dan penetapan hutan adat cukup sampai dengan keputusan bupati selaku kepala daerah maka presiden lebih mudah untuk mendorong bupati untuk mempercepat penetapan hutan adat tersebut.

Baca juga: Masyarakat Adat Kawi Minta Pemerintah Kembalikan Hutan Adat

Kedua, kebijakan dan regulasi yang dibuat pemerintah dan DPR tentang hutan adat dan masyarakat adatnya selama ini, baik berupa UU, PP maupun peraturan menteri terkait masih bersifat parsial, sektoral, dan belum afirmatif (menguatkan) antara satu dengan yang lain. Menurut Kasmita Widodo, Kepala BRWA, komponen di pemerintah pusat yang dianggap paling signifikan perannya dalam mempercepat hutan adat ini di antaranya adalah Kementerian Dalam negeri (Kemendagri) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Upaya yang perlu dilakukan Kemendagri adalah memonitor capaian pemerintah daerah terhadap implementasi penyelenggaraan pengakuan masyarakat adat. Sementara KLHK perlu memperluas kerja sama dengan pemda dalam pengakuan hutan adat yang secara pararel dapat mendukung pengakuan masyarakat hukum adat dan wilayah adatnya.

Secara spesifik , pemda juga perlu menyiapkan atau mengaktifkan kelembagaan yang memiliki tugas khusus menyelenggarakan pengakuan masyarakat hukum adat serta mengalokasikan anggarannya.

Ketiga, RUU Masyarakat Hukum Adat yang mengalami mandeg di DPR agar segera didorong oleh para pihak untuk dapat diselesaikan dan dapat disahkan. Mumpung masih belum disahkan, sebaiknya hal-hal yang mempersulit pengakuan dan penetapan masyarakat hukum adat sebaiknya prosedurnya dipermudah, diimbangi dengan pengawasan dan pengendalian yang lebih ketat oleh pemerintah daerah setempat untuk mengurangi implikasi negatif yang akan timbul di belakang hari, khususnya kerusakan lingkungan dan konflik tenurial.

Keempat, meskipun waktu efektif pemerintahan Presiden Joko Widodo tinggal kurang dari dua tahun, namun peluang untuk mempercepat penetapan hutan adat masih terbuka lebar. Kawasan hutan yang dialokasikan untuk kegiatan perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektar hingga akhir 2022 baru dimanfaatkan sebesar 5.314.082,11 hektar, masih tersisa 7,4 juta hektar.

Tinggal niat dan kemauan para pihak penyelenggara negara terkait di tingkat pusat maupun daerah untuk memberikan akses dan kemudahan dalam penetapan hutan adat ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com