Itulah mengapa, bahasa atau sebuah tanda dapat memotivasi perubahan di masyarakat dan bila dibatasi dapat mengukung pemikiran masyarakat. Penguasaan terhadap bahasa ini dapat kita lihat dalam novel 1984 karya George Orwell yang merepresentasikan perbudakan atas masyarakat.
Baca juga: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Rasa
Akan tetapi, Winston Smith menolak terseret dalam perbudakan tersebut. Dia ingin pikirannya terbebas dan merdeka. Bahasa-bahasa yang makna dan katanya dilarang dipergunakan akan mempersempit pemikiran, itulah yang Winston Smith dalam 1984 coba representasikan.
Lebih dari itu, melalui karya kita seakan mencoba masuk ke dalam dunia–imajinasi–yang kadang asing kadang juga sangat relevan dengan kehidupan dan perasaan. Namun, kita harus tetap ingat bahwa dunia imajinasi yang dibangun oleh sebuah karya tetaplah berbeda dengan kehidupan nyata.
Oleh karena itu, bila ada sebuah karya yang dibenci dan penciptanya mendapat permusuhan, apalagi sampai dihilangkan dan ditetapkan sebagai kriminal, maka keadaan ini adalah pertanda adanya pelaku politik yang ingin menjadi sebuah hegemoni.
Bila pun demikian terjadi, bukan berarti karya tidak boleh lagi diciptakan. Bahkan, Seno Gumira Adjidarma mengungkapkan, “ketika jurnalisme dibungkam, sastra berbicara”.
Masih banyak informasi filsafat dari Henry Manampiring, simak obrolan lengkapnya dalam siniar BEGINU bertajuk “Yang Muda Yang Berkarya” di Spotify.
Ikuti juga siniarnya agar kalian tak tertinggal tiap episode terbaru yang tayang pada Senin, Rabu, dan Jumat!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.