Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ari Junaedi
Akademisi dan konsultan komunikasi

Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

Kasus "Pemersatu Bangsa": "Infak" untuk (Bekas) Rektor Unila

Kompas.com - 02/12/2022, 08:26 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Tidak hanya tersentral pada Karomani seorang, tetapi juga melibatkan “downline”nya yang begitu aktif mencari “mangsa”. Karomani yang menjabat Rektor Unila sejak 2020, diyakini kalangan internal tidak saja “bermain” di tahun ini saja.

Kehidupan Karomani yang awalnya sederhana, sontak berubah “tajir melintir” usai dirinya terpilih menjadi petinggi kampus yang berlokasi di Kawasan Gedong Meneng, Bandar Lampung itu.

Bisa jadi, pihak-pihak yang disebut memberikan “infak” entah diakui atau tidak, hanyalah “dicatut” namanya atau memang terlibat aktif, KPK harus mengurai kasus ini dengan terang benderang. Jika ada seorang kepala daerah menggunakan jalur mandiri Unila melalui cara-cara “infak” via Rektor Karomani, tentu bisa dipertanyakan kadar kepemimpinan kepala daerah tersebut.

Andai ada anggota Dewan terhormat juga terlibat dengan permainan kotor ini, kiranya patut digugat track record-nya. Bahkan jika ada anggota kabinet yang tersangkut dengan permainan jalan belakang ala Karomani, maka pakta integritasnya dulu saat awal menjadi menteri, bisa ditagih komitmennya.

Jika kasus Karomani hanya berhenti di lingkar mafia sang rektor, dan pemberi suap yang tidak memiliki “cantelan” politik maka publik menagih kesungguhan komitmen KPK. Harusnya KPK tidak pandang bulu dan harus memberikan keadilan yang setara di antara para pemberi suap. Tanpa terkecuali tentunya.

Saya tidak habis pikir, katakanlah calon mahasiswa yang diterima dari jalur cincai tersebut memang tidak layak masuk fakultas kedokteran tetapi karena besarnya “infak” yang diterima Karomani membuatnya bisa diterima di Unila. Bagaimana nantinya mahasiswa tersebut bisa menuntaskan pendidikannya? Kalaupun akhirnya berhasil menjadi dokter, bagaimana pula kualitasnya?

Kenapa pula para orangtua atau pihak yang memberikan “dukungan” kepada calon mahasiswa memaksakan diri untuk diterima PTN dengan menghalalkan segala cara. Tentu saja, ada peluang yang memang terbuka dari pihak Unila sehingga faktor “demand” menemukan muara pada faktor “supply”.

Kelemahan jalur mandiri PTN

Persis sama dengan identifikasi KPK mengenai kelemahan dalam tata kelola penerimaan mahasiswa melalui jalur mandiri, saya melihat tidak adanya aspek akuntabilitas dan transparansi dari pihak PTN dalam proses rekrutmen calon mahasiswa.

Baca juga: Namanya Disebut dalan Kasus Mahasiswa Titipan Unila, Zulhas Enggan Komentar

Parahnya lagi, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) tidak mengatur teknis urusan jalur mandiri. Semuanya diserahkan kepada otonomi masing-masing PTN. Akibatnya, masing-masing PTN berkreasi sendiri mengenai kuota mahasiswa yang tersedia, kriteria penerimaan bahkan urusan fulus besaran sumbangan.

Celah inilah yang dimanfaatkan Karomani untuk menangguk keuntungan dengan beragam modus, terutama dengan praktek “infak”. Pameo mahasiswa yang masuk jalur mandiri adalah kalangan “the haves” dan memiliki “kekuasaan” sebetulnya sudah lama merebak.

Hanya saja selama ini mirip dengan kasus kentut, tidak ada yang mau mengaku mengeluarkan gas buangan yang berbau busuk tetapi bau busuknya kadung tersebar kemana-mana.

Pengumuman penerimaan mahasiswa melalui jalur mandiri pun selama ini tanpa menyebutkan skor penilaian yang diperoleh mahasiswa, besaran sumbangan yang diberikan ke kampus serta pemeringkatan calon mahasiswa yang mengikuti jalur mandiri. Akibatnya, siapa yang diterima di jalur mandiri, hanya Tuhan dan pimpinan PTN serta “konco-konconya” seperti Karomani jalani yang paham dan tahu.

Dari kasus “infak” yang melibatkan pimpinan Unila, kiranya bisa ditarik hikmah bahwa tingginya tingkat intelektualitas yang dimiliki guru besar serta yang diberi amanah menjadi rektor ternyata tidak menjadi jaminan arah pendidikan menjadi benar. Dari para pemberi “infak” kita bisa merenungi, latar belakang dan kedudukan mereka tetapi memaksakan anak, ponakan, atau kerabat bisa diterima di PTN ternyata mengingkari pernyataan-pernyataan “terhormat” yang selama ini mereka lontarkan.

Baca juga: KPK Periksa Mantan Wali Kota Bandar Lampung, Konfirmasi Penitipan Calon Mahasiswa ke Rektor Unila Karomani

Bualan-bualan mereka tentang keadilan, kesejahteraan, dan moral tak ubahnya seperti badut-badut. Harusnya bangku kuliah di PTN bisa diisi oleh calon mahasiswa yang pintar, dari keluarga miskin dan punya prestasi, atau keluarga yang mapan tetapi anaknya memang pintar.

Hapuskan saja jalur mandiri karena membuka peluang terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme. Buka kembali seleksi penerimaan mahasiswa berdasarkan hasil tes murni tanpa embel-embel besaran dana sumbangan.

Dari mahasiswa pintar, dari keluarga miskin, dan yang memiliki prestasi serta aklak yang terpujilah kita berharap nantinya memiliki menteri, rektor, anggota DPR, ketua partai, bupati, pengusaha, pegawai negeri atau swasta yang benar-benar mengerti arti infak yang sesungguhnya. Bukan yang menghalalkan segala cara. Jujur memang menjadi barang langka di negeri ini.

"Orang yang suka berkata jujur mendapat tiga perkara, yaitu; kepercayaan, cinta, dan rasa hormat." - Ali bin Abi Thalib. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Jadwal Timnas Indonesia di Semifinal Piala Asia U23: Senin 29 April 2024 Pukul 21.00 WIB

Jadwal Timnas Indonesia di Semifinal Piala Asia U23: Senin 29 April 2024 Pukul 21.00 WIB

Tren
Duduk Perkara Kemenkop-UKM Imbau Warung Madura Tak Buka 24 Jam

Duduk Perkara Kemenkop-UKM Imbau Warung Madura Tak Buka 24 Jam

Tren
Benarkah Pengobatan Gigitan Ular Peliharaan Tak Ditanggung BPJS Kesehatan?

Benarkah Pengobatan Gigitan Ular Peliharaan Tak Ditanggung BPJS Kesehatan?

Tren
Arkeolog Temukan Buah Ceri yang Tersimpan Utuh Dalam Botol Kaca Selama 250 Tahun

Arkeolog Temukan Buah Ceri yang Tersimpan Utuh Dalam Botol Kaca Selama 250 Tahun

Tren
Beroperasi Mulai 1 Mei 2024, KA Lodaya Gunakan Rangkaian Ekonomi New Generation Stainless Steel

Beroperasi Mulai 1 Mei 2024, KA Lodaya Gunakan Rangkaian Ekonomi New Generation Stainless Steel

Tren
Pindah Haluan, Surya Paloh Buka-bukaan Alasan Dukung Prabowo-Gibran

Pindah Haluan, Surya Paloh Buka-bukaan Alasan Dukung Prabowo-Gibran

Tren
3 Skenario Timnas Indonesia U23 Bisa Lolos ke Olimpiade Paris

3 Skenario Timnas Indonesia U23 Bisa Lolos ke Olimpiade Paris

Tren
Hak Angket Masih Disuarakan Usai Putusan MK, Apa Dampaknya untuk Hasil Pilpres?

Hak Angket Masih Disuarakan Usai Putusan MK, Apa Dampaknya untuk Hasil Pilpres?

Tren
Daftar Cagub DKI Jakarta yang Berpotensi Diusung PDI-P, Ada Ahok dan Tri Rismaharini

Daftar Cagub DKI Jakarta yang Berpotensi Diusung PDI-P, Ada Ahok dan Tri Rismaharini

Tren
'Saya Bisa Bawa Kalian ke Final, Jadi Percayalah dan Ikuti Saya... '

"Saya Bisa Bawa Kalian ke Final, Jadi Percayalah dan Ikuti Saya... "

Tren
Thailand Alami Gelombang Panas, Akankah Terjadi di Indonesia?

Thailand Alami Gelombang Panas, Akankah Terjadi di Indonesia?

Tren
Sehari 100 Kali Telepon Pacarnya, Remaja Ini Didiagnosis “Love Brain'

Sehari 100 Kali Telepon Pacarnya, Remaja Ini Didiagnosis “Love Brain"

Tren
Warganet Sebut Ramadhan Tahun 2030 Bisa Terjadi 2 Kali, Ini Kata BRIN

Warganet Sebut Ramadhan Tahun 2030 Bisa Terjadi 2 Kali, Ini Kata BRIN

Tren
Lampung Dicap Tak Aman karena Rawan Begal, Polda: Aman Terkendali

Lampung Dicap Tak Aman karena Rawan Begal, Polda: Aman Terkendali

Tren
Diskon Tiket KAI Khusus 15 Kampus, Bisakah untuk Mahasiswa Aktif?

Diskon Tiket KAI Khusus 15 Kampus, Bisakah untuk Mahasiswa Aktif?

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com