Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ari Junaedi
Akademisi dan konsultan komunikasi

Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

Kasus "Pemersatu Bangsa": "Infak" untuk (Bekas) Rektor Unila

Kompas.com - 02/12/2022, 08:26 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KASUS jual-beli penerimaan mahasiswa baru lewat jalur mandiri di Universitas Lampung (Unila) kini memasuki babak baru. Persidangan kasus tersebut yang kini bergulir di Pengadilan Negeri Tanjungkarang, Bandar Lampung maupun pemeriksaan saksi-saksi terkait kasus itu di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan fakta-fakta baru yang mencengangkan.

Suap yang diterima bekas Rektor Unila, Profesor Karomani, dari berbagai kalangan ternyata layak disebut kasus “pemersatu bangsa”. Betapa tidak, mereka yang terlibat bukan saja lintas geografi dan lintas personal karena melibatkan banyak kalangan, tetapi juga mencakup lintas partai politik dari para pihak, bahkan menjangkau lintas “ideologi”.

Calon mahasiswa yang dititipkan masuk tidak saja terkait dengan keluarga beberapa kepala daerah, tetapi juga ada menteri asal partai Partai Amanat Nasional (PAN), titipan anggota DPR-RI dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), sponsor dari petinggi Partai Nasdem Lampung, back up dari elite Golkar, pengusaha, pegawai negeri bahkan dari “pendekar” Spektrum. Korupsi tidak saja berwujud fulus, tetapi juga mebel. Tidak saja mata uang rupiah tetapi juga valuta asing serta logam mulia.

Baca juga: KPK Bisa Permasalahkan Pejabat yang Titip Calon Mahasiswa di Unila jika Ada Suap

Untuk menjalankan mafia penerimaan mahasiswa hasil sogokkan itu, Karomani melibatkan Wakil Rektor I Bidang Akademik, Ketua Senat Unila, Kepala Biro Perencanaan dan Humas serta dosen. Semua “guyub” bersatu demi harta berlimpah. Dasyat pokoknya.

Jika dulu institusi pendidikan tinggi dianggap sebagai tempat pendidikan untuk mencetak (maha)siswa yang beraklak mulia dengan kompetensi unggul yang diakui, di tangan Profesor Karomani semuanya dijungkirbalikkan. Kampus dijadikan ajang mencari kekayaan yang (maha)banyak dengan melupakan tujuan mulia mendidik tunas-tunas bangsa di kampus kebanggaan warga Lampung.

Sebagai lulusan sekolah menengah atas (SMA) angkatan 1986, saya berkesempatan mengikuti tiga kali tes ujian masuk perguruan tinggi negeri (PTN) yakni di tahun 1986, 1987 dan terakhir kesempatan ikut di tahun 1988. Tiap malam pekerjaan saya hanyalah bergadang dan bergadang sembari mengotak-atik soal-soal dari tes ujian masuk PTN tahun-tahun sebelumnya.

Saya tidak ingin menyusahkan orangtua yang miskin dan bertekad masuk PTN. Dulu di tahun 1986, Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru atau Sipenmaru adalah seleksi yang harus dilalui lulusan SMA dan sederajat agar bisa masuk PTN. Untuk bisa masuk PTN “top” seperti Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Indonesia (UI), atau Universitas Gajah Mada (UGM) harus dilalui susah payah oleh para calon mahasiswa.

Baca juga: Di Persidangan, Karomani Sebut Mendag Zulkifli Hasan Titip Keponakannya Masuk Kedokteran Unila

Alhasil saya tembus dua kali, di tahun 1986 masuk Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UI dan kesempatan terakhir tahun 1988 diterima masuk di Fakultas Hukum UI. Karena masuk lewat jalur tes, saya hanya membayar uang kuliah Rp 110 ribu per semester di Kimia UI dan Rp 180 ribu di Fakultas Hukum UI.

Tanpa mengecek apakah saya berasal dari keluarga tidak mampu atau pra-sejahtera, UI menerapkan biaya kuliah per semester yang berbeda di setiap angkatan. Mahasiswa UI angkatan 1985, hanya membayar Rp 50 ribu per semester dan Rp 25 ribu untuk angkatan 1984.

Itulah daya tarik masuk PTN bagi saya yang berasal dari keluarga pensiunan tentara berpangkat rendah. Berbiaya terjangkau. Masuk ke perguruan tinggi swasta (PTS) pasti tidak mampu karena calon mahasiswa akan dibebani berbagai pungutan biaya, ketika itu.

Melihat adanya jalur mandiri yang mulai diperkenalkan sejak 2010, unsur “seleksi” menjadi sirna karena “jalur tikus” sangat dimungkinkan dengan adanya “orang” macam Profesor Karomani. Melihat tarif yang “dipalak” Karomani untuk lolos Seleksi Mandiri Masuk Universitas Lampung (Simanila), membuat jantung saya “deg-degan”.

Baca juga: KPK Telusuri Dugaan Pengumpulan Uang oleh Rektor Unila Terkait Calon Mahasiswa Titipan

Bayangkan untuk mahasiswa kedokteran, Karomani memasang tarif Rp 650 juta dan yang termurah untuk fakultas-fakultas lain dibanderol Rp 100 juta. Tarif yang dipatok Pak Rektor bisa ditawar, tergantung negosiasi dan lobi tentunya.

Dari penyisiran yang dilakukan, KPK berhasil mengamankan aset senilai puluhan miliar rupiah. Selain uang tunai Rp 2,5 miliar, KPK juga menyita puluhan deposito, emas batangan, uang dalam dalam berbagai pecahan valuta asing.

Ketika korupsi disamarkan dengan “infak”

Kasus korupsi Rektor Unila, Profesor Karomani, tidak saja mencoreng institusi pendidikan tetapi juga mendegradasi makna agung dari “infak”. Dengan dibalut untuk infak bagi Lampung Nadhliyin Center, Karomani menerima “infak” dari orang-orang yang menitipkan calon mahasiswa yang ingin diterima di Unila.

Melihat pola dan sebaran pihak-pihak yang terkait dalam pusaran “jual beli” bangku mahasiswa yang dijalankan Karomani, tampaknya modus operandinya begitu masif dijalankan dengan beragam cara.

Baca juga: KPK Panggil Anggota DPR Utut Adianto dan Tamanuri Jadi Saksi Suap Rektor Unila Karomani

Tidak hanya tersentral pada Karomani seorang, tetapi juga melibatkan “downline”nya yang begitu aktif mencari “mangsa”. Karomani yang menjabat Rektor Unila sejak 2020, diyakini kalangan internal tidak saja “bermain” di tahun ini saja.

Kehidupan Karomani yang awalnya sederhana, sontak berubah “tajir melintir” usai dirinya terpilih menjadi petinggi kampus yang berlokasi di Kawasan Gedong Meneng, Bandar Lampung itu.

Bisa jadi, pihak-pihak yang disebut memberikan “infak” entah diakui atau tidak, hanyalah “dicatut” namanya atau memang terlibat aktif, KPK harus mengurai kasus ini dengan terang benderang. Jika ada seorang kepala daerah menggunakan jalur mandiri Unila melalui cara-cara “infak” via Rektor Karomani, tentu bisa dipertanyakan kadar kepemimpinan kepala daerah tersebut.

Andai ada anggota Dewan terhormat juga terlibat dengan permainan kotor ini, kiranya patut digugat track record-nya. Bahkan jika ada anggota kabinet yang tersangkut dengan permainan jalan belakang ala Karomani, maka pakta integritasnya dulu saat awal menjadi menteri, bisa ditagih komitmennya.

Jika kasus Karomani hanya berhenti di lingkar mafia sang rektor, dan pemberi suap yang tidak memiliki “cantelan” politik maka publik menagih kesungguhan komitmen KPK. Harusnya KPK tidak pandang bulu dan harus memberikan keadilan yang setara di antara para pemberi suap. Tanpa terkecuali tentunya.

Saya tidak habis pikir, katakanlah calon mahasiswa yang diterima dari jalur cincai tersebut memang tidak layak masuk fakultas kedokteran tetapi karena besarnya “infak” yang diterima Karomani membuatnya bisa diterima di Unila. Bagaimana nantinya mahasiswa tersebut bisa menuntaskan pendidikannya? Kalaupun akhirnya berhasil menjadi dokter, bagaimana pula kualitasnya?

Kenapa pula para orangtua atau pihak yang memberikan “dukungan” kepada calon mahasiswa memaksakan diri untuk diterima PTN dengan menghalalkan segala cara. Tentu saja, ada peluang yang memang terbuka dari pihak Unila sehingga faktor “demand” menemukan muara pada faktor “supply”.

Kelemahan jalur mandiri PTN

Persis sama dengan identifikasi KPK mengenai kelemahan dalam tata kelola penerimaan mahasiswa melalui jalur mandiri, saya melihat tidak adanya aspek akuntabilitas dan transparansi dari pihak PTN dalam proses rekrutmen calon mahasiswa.

Baca juga: Namanya Disebut dalan Kasus Mahasiswa Titipan Unila, Zulhas Enggan Komentar

Parahnya lagi, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) tidak mengatur teknis urusan jalur mandiri. Semuanya diserahkan kepada otonomi masing-masing PTN. Akibatnya, masing-masing PTN berkreasi sendiri mengenai kuota mahasiswa yang tersedia, kriteria penerimaan bahkan urusan fulus besaran sumbangan.

Celah inilah yang dimanfaatkan Karomani untuk menangguk keuntungan dengan beragam modus, terutama dengan praktek “infak”. Pameo mahasiswa yang masuk jalur mandiri adalah kalangan “the haves” dan memiliki “kekuasaan” sebetulnya sudah lama merebak.

Hanya saja selama ini mirip dengan kasus kentut, tidak ada yang mau mengaku mengeluarkan gas buangan yang berbau busuk tetapi bau busuknya kadung tersebar kemana-mana.

Pengumuman penerimaan mahasiswa melalui jalur mandiri pun selama ini tanpa menyebutkan skor penilaian yang diperoleh mahasiswa, besaran sumbangan yang diberikan ke kampus serta pemeringkatan calon mahasiswa yang mengikuti jalur mandiri. Akibatnya, siapa yang diterima di jalur mandiri, hanya Tuhan dan pimpinan PTN serta “konco-konconya” seperti Karomani jalani yang paham dan tahu.

Dari kasus “infak” yang melibatkan pimpinan Unila, kiranya bisa ditarik hikmah bahwa tingginya tingkat intelektualitas yang dimiliki guru besar serta yang diberi amanah menjadi rektor ternyata tidak menjadi jaminan arah pendidikan menjadi benar. Dari para pemberi “infak” kita bisa merenungi, latar belakang dan kedudukan mereka tetapi memaksakan anak, ponakan, atau kerabat bisa diterima di PTN ternyata mengingkari pernyataan-pernyataan “terhormat” yang selama ini mereka lontarkan.

Baca juga: KPK Periksa Mantan Wali Kota Bandar Lampung, Konfirmasi Penitipan Calon Mahasiswa ke Rektor Unila Karomani

Bualan-bualan mereka tentang keadilan, kesejahteraan, dan moral tak ubahnya seperti badut-badut. Harusnya bangku kuliah di PTN bisa diisi oleh calon mahasiswa yang pintar, dari keluarga miskin dan punya prestasi, atau keluarga yang mapan tetapi anaknya memang pintar.

Hapuskan saja jalur mandiri karena membuka peluang terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme. Buka kembali seleksi penerimaan mahasiswa berdasarkan hasil tes murni tanpa embel-embel besaran dana sumbangan.

Dari mahasiswa pintar, dari keluarga miskin, dan yang memiliki prestasi serta aklak yang terpujilah kita berharap nantinya memiliki menteri, rektor, anggota DPR, ketua partai, bupati, pengusaha, pegawai negeri atau swasta yang benar-benar mengerti arti infak yang sesungguhnya. Bukan yang menghalalkan segala cara. Jujur memang menjadi barang langka di negeri ini.

"Orang yang suka berkata jujur mendapat tiga perkara, yaitu; kepercayaan, cinta, dan rasa hormat." - Ali bin Abi Thalib. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com