Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Irvan Maulana
Direktur Center of Economic and Social Innovation Studies (CESIS)

Peneliti dan Penulis

Lepas dari Politisasi Riset dan Stagnasi Ilmiah

Kompas.com - 30/11/2022, 11:20 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DIAKUI atau tidak, hasil ribuan riset baru nyaris tak lagi menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi seperti dulu. Hal itu membuat perlambatan atau bahkan stagnasi ilmiah semakin tak terhindarkan.

Tak sempurnanya siklus hidup ide-ide ilmiah menjadi penyebab melambatnya integrasi antara riset dan industri. Tanpa terasa, selama lima dekade terakhir, budaya kutipan (citation) menjadi cara paling dominan untuk mengevaluasi kontribusi ilmiah bagi ilmuwan.

Penekanan pada kutipan dalam pengukuran produktivitas ilmiah telah menggeser perilaku ilmuwan menjauh dari proses eksplorasi yang lebih mungkin gagal, tetapi bisa menjadi terobosan di masa depan. Di Indonesia, ide-ide cemerlang hanya tersimpan rapi di atas rak-rak perpustakaan.

Baca juga: Aktualisasi Semangat Sumpah Pemuda Para Periset Indonesia

Eksekusi riset yang begitu lemah karena harus berbenturan dengan politik atau dengan kepentingan kelompok tertentu. Ketika perhatian baik secara politik maupun finansial pada ide-ide baru menurun, saat itulah sains mengalami stagnasi.

Maka, tak ayal Indonesia sulit menemukan alternatif substitusi impor yang menjadi kunci untuk lepas dari kecanduan impor. Inilah yang menjadi tantangan riset sehingga berdampak pada penurunan produktivitas ilmiah.

Biaya riset jadi makin mahal

Meskipun jumlah ilmuwan saat ini jauh lebih banyak daripada di masa lalu, kemajuan saat ini tidak sebanding dengan terobosan di masa lalu. Di daerah-daerah di mana kemajuan ilmiah masih sekuat di masa lalu, penemuan hari ini membutuhkan upaya penelitian berkali-kali lipat lebih besar dibanding dulu.

Bidang farmasi, misalnya, sekarang riset pengembangan obat menjadi dua kali lipat lebih mahal dibanding satu dekade lalu. Bahkan, selama perang melawan Covid-19, biaya produksi obat baru meningkat secara dramatis selama dekade terakhir tetapi masih berkisar antara 314 juta dolar AS hingga 2,8 miliar dolar AS per obat baru.

Rata-rata investasi research and development (R&D) yang diperlukan untuk membawa obat baru ke pasar menyentuh angka 1 miliar dolar AS, dengan rata-rata waktu 10 sampai 15 tahun untuk membawa obat baru ke pasar. Sekitar setengah dari waktu dan investasi ini dihabiskan selama fase uji klinis dari siklus pengembangan obat sementara setengah sisanya mencakup penemuan, pengujian, dan proses pengaturan senyawa praklinis.

Tingginya biaya untuk memasukkan obat baru ke pasar dan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk melakukannya telah melahirkan generasi skeptis di tengah masalah “lemon” pasar (The Lemons Problem) yang semakin tak menentu.

Tak mengherankan saat ini industri farmasi terkesan seperti lahan rent seeking bagi pencari keuntungan dengan mengesampingkan informasi simetris pasar. Situasi seperti ini disebut dalam hukum Eroom (Eroom’s Law) , konsep di mana biaya pengembangan obat baru meningkat secara eksponensial dalam beberapa dekade terakhir meskipun teknologi berkembang sangat pesat.

Hukum Eroom yang sebenarnya adalah hukum Moore yang dieja terbalik, mirip dengan hukum pengembalian yang semakin berkurang (the Law of Diminishing Margnal Return), sebuah konsep dalam ekonomi yang menunjukkan bahwa jika satu input dalam produksi suatu komoditas ditingkatkan, sementara semua input lainnya tetap, di titik tertentu akan terjadi penurunan output. Karena itu, perlambatan produktivitas penelitian pada dasarnya tidak ada hubungannya dengan kurangnya ide-ide bagus yang membanjiri riset-riset di seluruh dunia.

Akar dari perlambatan kemajuan ilmiah terletak pada fakta bahwa karya ilmiah tentang ide-ide baru yang memiliki potensi untuk berkembang menjadi kemajuan yang inovatif, benar-benar tidak lagi dihargai dengan cara yang sama seperti dulu. Perubahan skema insentif dan penghargaan bagi para ilmuwan pun sudah berubah.

Perubahan mendasar dalam insentif ilmuwan didorong seberapa populer karya mereka yang diterbitkan di komunitas ilmiah, dengan popularitas diukur dengan berapa kali karya mereka dikutip oleh ilmuwan lain.

Pergeseran ini sering disebut sebagai 'revolusi kutipan'. Revolusi kutipan saat ini dianggap memiliki pengaruh besar pada perkembangan sains di masyarakat. Namun sayang, sebagian besar ide ilmiah tidak pernah berhasil mencapai fase terobosan, bahkan banyak riset penting berhenti di tengah jalan.

Periset butuh dukungan

Tahap eksplorasi semestinya menghasilkan kerangka riset mapan yang menjanjikan gagasan atau rangkaian eksperimen baru layak untuk dijalankan. Maka, para ilmuwan perlu dukungan dalam memanfaatkan fase eksplorasi riset, tanpa takut akan konflik kepentingan dan politik.

Pertama, yang perlu disadari bahwa perubahan insentif akan mendorong beberapa ilmuwan untuk mengubah fokus penelitian mereka menjadi lebih banyak eksplorasi membutuhkan banyak biaya. Tanpa menyebut lembaga atau kementerian tertentu, sudah semestinya biaya eksplorasi riset tidak dibatasi atau dikurangi dengan alasan politis di semua lembaga yang sedang menjalankan riset.

Baca juga: BRIN-LDE Academy, Membangun Kolaborasi Riset Internasional

Konsekuensi pemotongan biaya riset akan menghambat proses penemuan terobosan baru, bahkan riset-riset penting bisa terancam berhenti sia-sia.

Kedua, perlu dukungan secara politik bagi para periset. Banyak periset memilih untuk menjauh dari dunia akademis atau bahkan memilih menetap di luar negeri karena takut eksplorasi sejati riset tidak lagi dihargai sebagaimana mestinya sebagai seorang ilmuwan.

Ketiga, meningkatkan toleransi terhadap kegagalan riset dan mempermudah pembentukan komunitas ilmiah baru yang mengeksplorasi dan mengembangkan area penyelidikan riset-riset baru. Saat ini, dengan keterbatasan biaya, banyak periset bekerja dengan ruang eksplorasi yang sempit karena takut salah dan gagal.

Pada akhirnya, banyak periset takut terjun langsung menangani riset-riset berisiko tinggi, padahal Indonesia saat ini benar-benar bergantung pada riset-riset high risk tersebut. Maka di tengah situasi yang kian tak menentu, penguatan riset secara politis layak diperjuangkan, bukan justru dipolitisasi untuk melemahkan ekosistem riset di Tanah Air.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Demonstran Israel Blokir Jalan dengan Batu, Truk Bantuan ke Gaza Tak Bisa Lewat

Demonstran Israel Blokir Jalan dengan Batu, Truk Bantuan ke Gaza Tak Bisa Lewat

Tren
BMKG: Inilah Wilayah yang Berpotensi Hujan Lebat, Petir, dan Angin Kencang pada 11-12 Mei 2024

BMKG: Inilah Wilayah yang Berpotensi Hujan Lebat, Petir, dan Angin Kencang pada 11-12 Mei 2024

Tren
[POPULER TREN] Media Asing Soroti Indonesia Vs Guinea | Ikan Tinggi Vitamin D

[POPULER TREN] Media Asing Soroti Indonesia Vs Guinea | Ikan Tinggi Vitamin D

Tren
Perjalanan Sashya Subono, Animator Indonesia di Balik Film Avatar, She-Hulk, dan Hawkeye

Perjalanan Sashya Subono, Animator Indonesia di Balik Film Avatar, She-Hulk, dan Hawkeye

Tren
Ramai soal Mobil Diadang Debt Collector di Yogyakarta padahal Beli 'Cash', Ini Faktanya

Ramai soal Mobil Diadang Debt Collector di Yogyakarta padahal Beli "Cash", Ini Faktanya

Tren
Pria di India Ini Memiliki Tumor Seberat 17,5 Kg, Awalnya Mengeluh Sakit Perut

Pria di India Ini Memiliki Tumor Seberat 17,5 Kg, Awalnya Mengeluh Sakit Perut

Tren
Daftar 10 Ponsel Terlaris di Dunia pada Awal 2024

Daftar 10 Ponsel Terlaris di Dunia pada Awal 2024

Tren
Ramai soal Pejabat Ajak Youtuber Korsel Mampir ke Hotel, Ini Kata Kemenhub

Ramai soal Pejabat Ajak Youtuber Korsel Mampir ke Hotel, Ini Kata Kemenhub

Tren
Beredar Penampakan Diklaim Ular Jengger Bersuara Mirip Ayam, Benarkah Ada?

Beredar Penampakan Diklaim Ular Jengger Bersuara Mirip Ayam, Benarkah Ada?

Tren
Warganet Sambat ke BI, Betapa Susahnya Bayar Pakai Uang Tunai di Jakarta

Warganet Sambat ke BI, Betapa Susahnya Bayar Pakai Uang Tunai di Jakarta

Tren
Daftar Bansos yang Cair Mei 2024, Ada PKH dan Bantuan Pangan Non-tunai

Daftar Bansos yang Cair Mei 2024, Ada PKH dan Bantuan Pangan Non-tunai

Tren
8 Catatan Prestasi Timnas Indonesia Selama Dilatih Shin Tae-yong

8 Catatan Prestasi Timnas Indonesia Selama Dilatih Shin Tae-yong

Tren
Promo Tiket Ancol Sepanjang Mei 2024, Ada Atlantis dan Sea World

Promo Tiket Ancol Sepanjang Mei 2024, Ada Atlantis dan Sea World

Tren
Viral, Video Drone Diterbangkan di Kawasan Gunung Merbabu, TNGM Buka Suara

Viral, Video Drone Diterbangkan di Kawasan Gunung Merbabu, TNGM Buka Suara

Tren
Daftar 19 Wakil Indonesia dari 9 Cabor yang Sudah Pastikan Tiket ke Olimpiade Paris 2024

Daftar 19 Wakil Indonesia dari 9 Cabor yang Sudah Pastikan Tiket ke Olimpiade Paris 2024

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com