Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ari Junaedi
Akademisi dan konsultan komunikasi

Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

Walau Tidak Berpangkat Kombes, Saya Bangga Jadi Anak Sersan

Kompas.com - 21/11/2022, 09:47 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Kamu anak kolong,

Aku juga sama anak kolong.

Namun kamu disekolahkan,

Sedangkan aku mencari uang untuk makan.

 

Kamu anak kolong,

Aku pun sama anak kolong.

Namun kamu dibelikan mobil pribadi,

Sedangkan aku jalan kaki mengais rezeki.

 

Kamu anak kolong,

Aku juga anak kolong.

Kamu hidup di hunian gedong,

Sedangkan aku kedinginan tiada yang menolong.

 

Setidaknya kita sama, dalam susunan kata.

Dalam pandangan Tuhan Yang Maha Esa.

Walau berbeda dalam kehidupan nyata,

Takdir Tuhan yang buat aku terima semua.

(Puisi “Dua Anak Kolong", karya Muhammad Leksono)

ANAK-ANAK yang berayah tentara, terlanjur kondang dipanggil “anak kolong”. Saya termasuk anak kolong Tidak peduli apa pangkat bapak kami, kami kerap iseng, jahil dan nakal. Hanya saja, nakal kami di paruh 1970 – 1980-an masih “terukur”.

Saya dan teman-teman sesama anak kolong tidak akan tega menendang atau memukul dengan balok kayu kepada seorang nenek. Ajaran dari orang tua kami, seorang yang berusia lebih tua daripada kami harus mendapat sopan santun dan hormat.

Kami pun anak kolong, tidak akan menganiaya anak-anak seusia kami ketika sudah menyerah saat berantam. Apalagi sembari memukul teman dengan membanggakan pangkat bapak kami. Apalagi saya, pangkat bapak saya “hanya” sersan mayor. Pangkat dengan jumlah balok kuning melengkung “terbanyak” di antara pangkat sersan-sersan yang lain.

Saat mendengar kasus penganiayaan yang menimpa FB (16) yang dilakukan RC, putra dari seorang polisi berpangkat Komisaris Besar (Kombes), di area Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Jakarta, Sabtu (12/11/2022) sungguh sebuah tamparan bagi orang tuanya.

Di saat institusi Polri disorot publik karena kasus-kasus pidana seperti yang melibatkan personel Polri berpangkat tinggi seperti pusaran kasus Irjen Ferdy Sambo dan Irjen Teddy Minahasa, serta kasus-kasus amoral yang dilakukan personel Polri lainnya, kasus penganiayaan yang dilakukan putra sang Kombes harusnya tidak terjadi.

Menganiaya orang lain dengan arogan sambil membawa-bawa “nama orang tua” serta “pangkat” Kombes, sungguh sebuah citra buruk bagi keluarga besar Polri.

Baca juga: Menanti Ketegasan Polri Usut Kasus Anak Kombes Aniaya Temannya di PTIK...

Alasan yang dikemukakan Kepala Seksi Humas Polres Metro Jakarta Selatan, AKP Nurma Dewi bahwa kasus pemukulan yang dilakukan RC putra sang Kombes karena bercanda, sepertinya sulit diterima nalar mengingat kasus-kasus yang melibatkan RC, diakui Yusna ibu korban, kerap dilakukan RC. Korban sendiri sampai sekarang masih trauma dan menderita luka (Kompas.com, 18/11/2022).

Tidak itu saja, seperti sungkan dengan pangkat Kombes, AKP Nurma menyebut candaan yang berujung penganiayaan dilakukan RC karena sifat remaja yang mudah tersulut emosi. Tidak terlalu bermasalah karena persoalan sesama anak kecil.

Mungkin Nurma lupa atau “pura-pura” lupa, kedua anak “kecil” tersebut tengah mengikuti bimbingan belajar sebagai persiapan untuk mengikuti tes masuk sebagai taruna Akademi Kepolisian. Saya rasa, kalau anak-anak kecil tentu tidak pantas mengikuti bimbingan belajar sebagai persiapan masuk taruna Akademi Kepolisian.

Jika belum masuk saja sudah berperilaku seperti itu, bagaimana nanti jika diterima dan lulus dari Akademi Kepolisian? Membiasakan kekerasan dan menyombongkan pangkat orangtuanya.

Saya punya pengalaman memiliki adik kelas di SMA yang anak penggede TNI, bahkan beberapa waktu kemudian ayahnya di dapuk sebagai Wakil Presiden. Anak kolong tersebut rendah hati, baik, dan terkenal sopan.

Saat itu ayahnya menjabat Panglima Kodam Jaya. Saat ini adik kelas saya itu mendapat kepercayaan sebagai Kepala Korps Lalu Lintas (Kakorlantas) Polri. Perilakunya saat masih bersekolah menengah hingga bintang dua di pundak, tetap humble.

Keterangan Humas Polres Metro Jakarta Selatan tersebut tentu tidak sejalan dengan pernyataan Komisioner Komisi Polisi Nasional (Kompolnas), Poengky Indarti. Poengky malah menyebut hendaknya arahan Presiden Joko Widodo agar keluarga Polri – termasuk keluarga besarnya – untuk tidak arogan, pamer kemewahan, dan tidak melakukan kekerasan dijadikan patokan bagi personel Polri beserta keluarganya (Kompas.com, 17/11/2022).

Perlu menjadi warning selain tugas polisi sebagai pengayom dan pelindung masyarakat, hendaknya juga bisa mendidik anggota keluarganya agar bisa ikut menjaga nama baik institusi kepolisian. Mereka – sekali lagi – tidak boleh melupakan citra Polri sedang di sorot negatif oleh publik.

Upaya Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk mengembalikan marwah polisi yang dicintai (kembali) oleh masyarakat harus mendapat dukungan. Terlebih dari personel Polri sendiri dan keluarganya.

Poengky dari Kompolnas malah menyebut tegas, jika seorang anggota polisi tidak bisa mendidik anak istrinya maka resikonya bisa berkaitan dengan jabatan yang bersangkutan.

Konon jabatan ayah RC yang Kombes adalah Inspektur Pengawasan Daerah (Irwasda) di sebuah Polda. Saat terjadinya penganiayaan yang dilakukan RC terhadap FB, tidak ada satu pun instruktur bimbingan belajar di PTIK melerai bahkan malah membiarkan kekerasan terjadi di depan mereka.

Video viral remaja tendang nenek di Tapanuli Selatantangakapan layar akun twitter @@Askrlfess Video viral remaja tendang nenek di Tapanuli Selatan
Pelajar Tapsel yang tidak tahu adab

Jagat maya sontak menjadi heboh sejak hari Sabtu dan Minggu (19 dan 20 November 2022) karena potongan video kekerasan sejumlah pelajar terhadap seorang nenek yang beredar masif.

Awalnya ada sejumlah pelajar yang naik kendaraan roda dua dan bertemu dengan seorang nenek. Di antara para pelajar itu ada yang menendang nenek, yang diduga Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ), bahkan di potongan video yang lain dengan pelaku yang sama, malah memukul dengan balok kayu.

Tidak perlu butuh waktu lama, jajaran Polri akhirnya meringkus enam pelajar Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang ada di Tapanuli Selatan (Tapsel), Sumatera Utara.

Kasus itu semakin viral usai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD ikut menyoroti (Detik.com, 20/11/2022).

Baca juga: 6 Pelajar SMK di Tapanuli Selatan yang Aniaya Nenek ODGJ Ditangkap, Mengaku Iseng Saat Bolos Sekolah

Polres Tapanuli Selatan kini berkoordinasi dengan Balai Pemasyarakatan untuk menangani masalah itu lantaran status para pelaku kekerasan tersebut masih di bawah umur. Polisi juga mengundang orang tua pelaku, kepala sekolah tempat para pelaku bersekolah, tokoh adat, dan kepala desa setempat serta kepala cabang dinas pendidikan provinsi agar kasus tersebut tidak boleh terulang kembali.

Mungkin para pelajar yang tidak tahu dengan keluhuran nilai-nilai Pancasila dan sopan santun ada istiadat, memperlakukan orang tua – walau korban menyandang status ODGJ – dengan semena-mena adalah menyakiti orang tuanya sendiri yang telah melahirkan dan membesarkan dengan susah payah.

Baca juga: Kasus Nenek Dianiaya 6 Siswa SMK di Tapanuli Selatan, Diduga Sengaja Direkam dan Bukan Pertama Kali

Walau kasus anak sang Kombes di PTIK Jakarta dengan kasus enam pelajar Tapanuli Selatan ini sama-sama mengandung unsur kekerasan, terlihat berbeda sekali pola penanganannya. Polisi menjadi sigap dan cepat bertindak jika kasus tersebut menjadi viral, apalagi ikut “disentil” oleh elite nasional.

Tetapi polisi sepertinya lupa, pembiaran kasus-kasus yang mencoreng institusi akan terus ditagih penyelesaiannya oleh publik dan menjadi jejak digital yang abadi.

Belajarlah dari kehidupan yang tidak berpihak

Refleksi dari kehidupan penulis yang menjadi anak sersan, menjadi anak kolong memang sebuah kebanggaan. Walau saya anak seorang sersan, saya sejak kecil dididik untuk bisa “mengalahkan” anak jenderal – apalagi anak kombes – untuk bisa menjadi juara.

Kemiskinan dan keprihatinan hidup dari seorang anak sersan zaman Orde Baru, tidak boleh menyurutkan langkah untuk maju. Saya masih teringat untuk selalu “menghafal” dan memahami semua isi buku kelas 1 jika naik ke kelas 2 SMP. Bukan apa-apa, semua buku kelas 1 harus saya jual agar bisa membeli buku-buku untuk kelas 2 SMP.

Walau seusia SMP, saya terbiasa belajar hingga larut tetapi sudah bangun sebelum ayam berkokok agar bisa membantu pekerjaan rumah dulu dan berolahraga lari serta senam ala militer sebelum pergi pagi ke sekolah.

Mengalahkan dalam kamus “anak sersan” tentu punya arti positif yakni unggul dalam pelajaran di sekolah atau juara di pentas olah raga. Berhasil lolos tes ujian masuk yang sulit di perguruan tinggi negeri terkemuka adalah perwujudan mengalahkan anak jenderal. Beberapa kawan saya yang berasal dari keluarga berpangkat malah “terlempar” dari persaingan masuk ujian.

Pendidikan formal memang diperoleh dari sekolah tetapi pendidikan budi pekerti selalu diajarkan oleh orang tua. Mengaji di mushala, menghormati orang yang lebih berumur dengan adab dan sopan santun tidak boleh kami lupakan.

Orang tua saya yang berpangkat sersan selalu berpesan untuk berbuat baik maksimal dan tidak boleh menyakiiti orang lain. Menghargai perbedaan dan menghormati keyakinan orang lain. Di atas langit selalu ada langit.

Selalu bersyukur atas sekecil apapun rezeki yang kita terima. Itulah pesan mendiang ayah saya yang berpangkat sersan dan mendiang ibu saya yang hanya bersekolah setingkat SMP tetapi sangat aktif di Persit Kartika Candra Kirana – persatuan istri TNI AD.

Sekali lagi, jangan bawa-bawa nama dan pangkat orang tua. Mau orang tua berpangkat jenderal, kombes, atau sersan, tetaplah menjadi diri sendiri.

Raih prestasi setinggi mungkin dan teruslah berbuat baik kepada siapa pun agar orang tuamu bangga. Jangan bertindak arogan, menjadi pelajar itu adalah jenjang pendidikan menengah sebelum beranjak dewasa dan kelak menjadi pribadi yang tangguh.

Hingga saya sekarang bisa mencapai kemandirian hidup, saya selalu bangga dengan didikan orang tua saya yang berpangkat rendah. Saya bangga menjadi anak sersan !

“Pengetahuan akan memberimu kekuatan, tetapi karakter memberimu kehormatan.” – Bruce Lee (1940 – 1973).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com