Banjir tersebut tepatnya terjadi pada 17 November 1942 yang juga mengakibatkan hancurnya areal pertanian.
Terowongan ini kemudian dibangun oleh Karisidenan Kediri, di mana terowongan dibuat dengan melewati wilayah perbukitan.
Tujuannya saat itu adalah menguras air yang masih menggenang di rawa-rawa dan membuangnya ke Samudra Hindia.
Terowongan juga diharapkan bisa menjaga kesuburan tanaman padi yang sedang diintensifkan Jepang untuk menyuplai makanan tentara.
Baca juga: UPDATE Banjir Rob Pantura dan 10 Kabupaten yang Terdampak
Terowongan Niyama dibuat dengan total membutuhkan 20.000 romusha.
Pada tahap awal pengerjaan dilakukan dengan lebih dari 10.000 romusha dengan membuat saluran terbuka.
Para romusha ini meratakan punggungan bukit, yang berupa bebatuan kapur.
Salah satu kendala yang dialami dalam pembangunan ini adalah minimnya bahan peledak sehingga sebagian besar hanya mengandalkan tenaga para romusha.
Pembuatan terowongan ini sempat terbantu dengan adanya temuan 23 bom yang ditanam pada masa penjajahan Belanda di rawa-rawa sekitar lokasi.
Baca juga: Viral, Video Kereta Api Berhenti di Terowongan Sasaksaat, Apa Penyebabnya?
Saat itu, karisidenan juga membantu meminjam mesin pengebor dan kompresor dari Ishihara Sangyo Co Ltd.
Adapun Departemen Administrator Militer di Jakarta mengirim Kapten Angkatan Darat, dan seorang Insinyur Sipil yang berpengalaman membangun terowongan.
Kendala lain yang dialami dalam proses pembangunan ini adalah proses mobilisasi romusha yang kian waktu berkurang dan tersendat.
Penyebabnya di antaranya adalah lokasi yang tertutup rawa, banyak binatang buas, dan penyakit malaria yang merebak yang mengakibatkan romusha sakit hingga meninggal.
Adapun pembangunan terowongan ini dimulai pada Februari 1943 dan selesai pada Juli 1944.
Baca juga: Ramai soal Insiden Lampu Mati di Terowongan Mina, Ini Penjelasan Kemenag
Dalam Bahasa Jawa, terowongan Niyama disebut dengan Tumpak Oyot (akar gunung) yang diterjemahkan oleh pekerja Karisidenan Kediri menjadi Neyama.