PANDEMI telah membuat aplikasi seluler demikian familiar bagi masyarakat Indonesia, bahkan termasuk untuk kalangan strata masyarakat yang pada periode sebelumnya, mereka relatif sulit mengakses layanan teknologi informasi komunikasi (TIK).
Kini, teknologi telah sah menjadi milik semua, tak ada batasan dan kendala dalam memudahkan hidup seluruh masyarakat di Indonesia.
Data dari datareportal.com menyebutkan, presentasi pengguna seluler di Indonesia tahun 2022 bahkan sudah mencapai 133% dari jumlah penduduk Indonesia.
Hal ini, disadari atau tidak, banyak didorong kuat oleh kebijakan social distance saat periode PSBB/PPKM pada pertengahan 2020 dan 2021 lalu.
Terbatasnya mobilitas serta seluruh aktivitas terpusat di rumah, maka membuat aplikasi seluler menjadi konektor antara masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan bisnis, dan terutama masyarakat dengan pemerintah.
Secara bersamaan, pada awal 2020, jargon revolusi industri 4.0 berkibar di mana-mana di negeri ini. Hal ini tentunya menjadi keniscayaan manakala sarana prasana, simultan dengan harga perangkat serta perkembangan teknologi, terus alami perkembangan massif.
Maka, dengan sendirinya, digitalisasi menyeruak di seluruh kehidupan masyarakat Indonesia khususnya dan global umumnya.
Di sinilah, aplikasi seluler kemudian jadi tumbuh bak jamur di musim cendawan. Bukan sebuah fenomena ketika kita melihat satu dinas pemerintahan, misalnya, bahkan sampai punya lebih dari satu aplikasi.
Seolah ada perlombaan banyak-banyakan aplikasi, semakin banyak semakin keren jadinya. Padahal, belum tentu masyarakat membutuhkan aplikasi sebanyak itu.
Sementara itu, dalam konteks tranformasi digital, mayoritas organisasi di belahan dunia merespons dengan melakukan program digitalisasi.
Begitu pun di sektor pemerintahan, membangun kota yang mampu bersaing memerlukan bantuan teknologi dalam hal memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Pemerintahan di Indonesia lebih mengenal dengan konsep sistem pemerintahan berbasis elektronik (SPBE), program digitalisasi yang kerap mengarah kepada membangun sistem-sistem berbasis web maupun mobile, tidak terkecuali di Jakarta.
Program digitalisasi dianggap dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi, serta meningkatkan partisipasi masyarakat.
Merujuk pengalaman penulis sebagai Kepala BLUD Jakarta Smart City, redudansi serupa terjadi pula di DKI Jakarta.
Semula, 56 organisasi perangkat daerah/OPD atau dinas memiliki aplikasi masing-masing sehingga totalnya menjadi lebih dari 150 apps, baik untuk layanan data, aplikasi dan layanan.