Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa WHO Mengganti Nama Penyakit Cacar Monyet?

Kompas.com - 16/08/2022, 07:05 WIB
Alinda Hardiantoro,
Inten Esti Pratiwi

Tim Redaksi

Sumber Forbes

KOMPAS.com - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyepakati untuk mengubah nama penyakit monkeypox atau cacar monyet.

"WHO telah menyepakati nama baru untuk varian virus monkeypox, sebagai bagian dari upaya berkelanjutan untuk menyelaraskan nama penyakit, virus, dan varian monkeypox atau clade," tulis WHO, dikutip dari laman resminya.

Selama ini, pemberian nama baru untuk penyakit yang telah terjadi merupakan tanggung jawab WHO di bawah International Classification of Diseases dan WHO Family of International Health Related Classifications (WHO-FIC).

Penamaan spesies virus menjadi tanggung jawab International Committee on the Taxonomy of Viruses (ICTV) yang saat ini sedang memproses nama virus cacar monyet.

Namun kali ini WHO juga mengadakan konsultasi terbuka untuk nama baru penyakit monkeypox.

Pihaknya membuka kesempatan bagi siapapun yang ingin mengajukan nama pengganti virus cacar monyet melalui laman ini.

Baca juga: 11 Perbedaan Cacar Monyet dengan Cacar Air, Penyebab hingga Lama Gejala

Memicu konotasi diskriminatif dan stigmatisasi

Dilansir dari Forbes (12/8/2022), WHO sepakat mengganti nama virus cacar monyet usai adanya sejumlah kritik.

Kritik tersebut menyatakan bahwa nama cacar monyet atau monkeypox dikhawatirkan memiliki konotasi diskriminatif dan memicu stigmatisasi.

Oleh karena WHO menggelar pertemuan dengan sejumlah ilmuwan untuk membahas penamaan ulang penyakit ini.

Dengan begitu, pelanggaran yang berpotensi terjadi karena penamaan virus terkait kepada etnis dan sosial atau profesional dapat terhindari.

Selain itu, pertemuan tersebut juga mempertimbangkan upaya untuk meminimalisir kerugian di bidang perdagangan, perjalanan, pariwisata, atau hewan akibat penamaan virus tersebut.

Baca juga: Update Cacar Monyet di Indonesia, Gejala hingga Pencegahannya

Pentingnya nama varian

Virus monkeypox sendiri pertama kali lahir di 1958, sebelum metode resmi penamaan penyakit ada.

Selepas itu, ada banyak varian dari penyakit cacar ini muncul. Dan masing-masing daerah menamai penyakit ini berbeda-beda, sesuai dengan kondisi geografis wilayah yang bersangkutan.

Dari konsensus yang diadakan tanggal 8 Agustus, WHO sudah memutuskan nama untuk dua varian dominan dari monkeypox.

Untuk saat ini, pergantian nama merujuk pada clade Congo Basin (Afrika Tengah) menjadi Clade I, sedangkan clade Afrika Barat menjadi Clade II. Kemudian, disepakati pula Clade II terdiri dari dua subclade.

Struktur penamaan clade atau varian akan diwakili oleh angka Romawi. Sementara subclade akan diwakili dengan karakter alfanumerik huruf kecil.

WHO memutuskan bahwa penamaan virus berdasarkan varian (clade) sangatlah penting. Hal ini demi mengamati karakter virus, demi kepentingan penelitian dan pemberian terapi medis yang tepat.

Kesepakatan itu diperoleh dari diskusi para ahli virologi cacar, biologi evolusioner, dan perwakilan lembaga penelitian dari seluruh dunia yang meninjau filogeni dan nomenklatur varian atau clade virus cacar monyet baik yang diketahui ataupun baru.

Para ahli tersebut akhirnya menyepakati tentang bagaimana clade virus harus dicatat dan diklasifikasikan di situs repositori urutan genom.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Kronologi dan Dugaan Motif Suami Mutilasi Istri di Ciamis, Pelaku Sempat Melakukan Upaya Bunuh Diri

Kronologi dan Dugaan Motif Suami Mutilasi Istri di Ciamis, Pelaku Sempat Melakukan Upaya Bunuh Diri

Tren
7 Manfaat Ikan Teri, Menyehatkan Mata dan Membantu Diet

7 Manfaat Ikan Teri, Menyehatkan Mata dan Membantu Diet

Tren
Buah dan Sayur yang Tidak Boleh Dikonsumsi Anjing Peliharaan, Apa Saja?

Buah dan Sayur yang Tidak Boleh Dikonsumsi Anjing Peliharaan, Apa Saja?

Tren
Jadwal dan Live Streaming Pertandingan Semifinal Thomas dan Uber Cup 2024 Hari ini

Jadwal dan Live Streaming Pertandingan Semifinal Thomas dan Uber Cup 2024 Hari ini

Tren
Sederet Fakta Kasus Suami Mutilasi Istri di Ciamis, Dilakukan di Jalan Desa

Sederet Fakta Kasus Suami Mutilasi Istri di Ciamis, Dilakukan di Jalan Desa

Tren
Bagaimana Tubuh Bisa Menghasilkan Vitamin D saat Terpapar Sinar Matahari?

Bagaimana Tubuh Bisa Menghasilkan Vitamin D saat Terpapar Sinar Matahari?

Tren
Waspada Cuaca Panas Melanda Indonesia, Ini Tips Menghadapinya

Waspada Cuaca Panas Melanda Indonesia, Ini Tips Menghadapinya

Tren
7 Tanda Kolesterol Tinggi yang Sering Diabaikan, Pegal di Pundak dan Mudah Mengantuk

7 Tanda Kolesterol Tinggi yang Sering Diabaikan, Pegal di Pundak dan Mudah Mengantuk

Tren
BMKG: Beberapa Wilayah Indonesia yang Berpotensi Hujan Lebat dan Angin Kencang pada 4-5 Mei 2024

BMKG: Beberapa Wilayah Indonesia yang Berpotensi Hujan Lebat dan Angin Kencang pada 4-5 Mei 2024

Tren
[POPULER TREN] Kata Media Asing soal Kekalahan Indonesia dari Irak | Tragedi Runtuhnya Jalan Tol di China

[POPULER TREN] Kata Media Asing soal Kekalahan Indonesia dari Irak | Tragedi Runtuhnya Jalan Tol di China

Tren
Masalah Tiga Tubuh

Masalah Tiga Tubuh

Tren
Jadwal Lengkap Pertandingan Sepak Bola Olimpiade Paris 2024

Jadwal Lengkap Pertandingan Sepak Bola Olimpiade Paris 2024

Tren
Pendaftaran Sekolah Kedinasan STAN, IPDN, dan STIS Dibuka Mei 2024

Pendaftaran Sekolah Kedinasan STAN, IPDN, dan STIS Dibuka Mei 2024

Tren
Pendaftaran Kartu Prakerja Gelombang 67 Resmi Dibuka, Ini Syarat dan Caranya

Pendaftaran Kartu Prakerja Gelombang 67 Resmi Dibuka, Ini Syarat dan Caranya

Tren
Ramai soal Sesar Sumatera Disebut Picu Tsunami pada 2024, BMKG: Hoaks

Ramai soal Sesar Sumatera Disebut Picu Tsunami pada 2024, BMKG: Hoaks

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com