Tepatnya, seseorang yang mengalami perilaku ini tidak ingin terlewatkan apapun dari kefanaannya, apa yang disebut dengan Fear of Missing Out atau FOMO.
Istilah ini pertama kali diterbitkan oleh seorang peneliti dan doktor bidang psikologi dari Oxford University, Andrew K. Przybylski.
Papernya yang ditulis bersama anggota timnya berjudul motivational, emotional, and behavioral corrlates of fear of missing out yang diterbitkan tahun 2013 pada jurnal Computers in Human Behavior menghasilkan kesimpulan bahwa rasa takut kehilangan atau tertinggal tersebut dialami oleh orang-orang muda.
Namun enam tahun berlalu, fenomena FOMO yang awalnya dialami oleh anak-anak muda kini menular ke generai-generasi sebelumnya.
FOMO tidak hanya menjangkiti generasi Z, seperti ditulis David Stillman, juga generasi Y yang mewakili generasi millenial dan menular ke generasi X.
Jika ditinjau dari perspektif psikologi perkembangan menunjukkan hal yang wajar karena generasi Y dan X masuk kategori puber teknologi.
Hal ini karena kuatnya pengaruh kohesivitas jejaring sosial yang hiperkoneksi. Emosi media sosial menular dan menjalar kemana-mena, tidak pandang bulu apakah dia seorang yang berasal dari generasi X atau babyboomers.
Inilah apa yang diistilahkan oleh seorang profesor sosiologi medis dari Harvard, Nicholas A. Christakis, Ph.D. (2009) sebagai mass psychogenic illnes (MPI), yaitu suatu kecenderungan biologis untuk meniru orang lain dan pada akhirnya kita mengalami keadaan internal yang sama. Pada kondisi ini kita kehilangan kemampuan untuk mengenali diri atau prosopagnosia.
Bersambut dengan penelitian Andrew K. Przybylski, Christakis memaknainya sebagai gejala kegelisahan diri, hanya saja FOMO lebih mengarah kepada kegelisahan diri dalam konteks sosial (social-anxiety).
Itulah sifat pisau bermata dua dari media sosial, pada satu sisi memberikan manfaat ganda secara positif, tapi pada sisi lain dapat menyebarkan virus negatif sehingga kita sendiri sebagai pengguna, tanpa sadar telah terjangkit penyakit psikologis akut yang diri kita sendiri sulit melakukan diagnosanya secara mandiri.
Musim haji saya jadikan momentum dalam tulisan ini, karena sakralitasnya telah sama-sama tercemar oleh media sosial.
Sama halnya, dengan konteks ruang sakral yang lain. Media sosial telah mengambil alih ruang sakral menjadi profan.
Dengan sifat prosopagnosia-nya, para gadget addict tidak mampu membedakan sakralitas dan profanitas diri tersebut. Sehingga mengancam etika ruang sakral kita sebagai homo religius ataupun sebagai homo socius.
Ruang sakral kini tercerabut dari sakralitasnya, begitu juga ruang sosial yang makin asing kedalaman nilai sosialnya.
Secara ontologis, eksistensi manusia dalam ruang sakral bukan berada pada profanitas media sosial. Namun keintimannya bersama sang Khalik yang tidak tereduksi oleh sifat dunia lain.