Walaupun antara yang sakral dan profan memiliki waktunya masing-masing, namun jika wajah sakralitas terus menerus berada dalam wajah profan, dikhawatirkan terjebak dalam perilaku FOMO.
Maka ibadah haji hanyalah sebuah kamuflase religius. Nilai sakralitasnya menjadi hilang. Tidak ada lagi keintiman yang terbangun antara makhluk dan sang khalik.
Jangankan menjadi haji mabrur dengan segudang ibrah yang bisa ditularkan kepada sanak famili dan handai taulan, justru kita mendapat gelar haji selfie. Karena kita kehilangan keseimbangan dalam membedakan ruang sakral dan profan.
Meminjam pernyataan Ali Syariati dalam buku Haji (1978), jika hidup hanyalah sekadar memenuhi kebutuhan hari demi hari bagi seorang manusia, seperti yang terjadi dalam fenomena FOMO, maka ia tidak memiliki arah di dalam hidupnya. Tujuannya hanyalah untuk hidup.
Keadaan seperti ini bagaikan semangat yang mati di dalam jasad yang masih hidup. Maka eksistensi manusia tidak ada artinya.
Lalu, kata Syariati, bebaskan diri dari segala kebutuhan dan ketamakan dunia yang membuat lupa. Termasuk juga kebutuhan untuk menjadi narsis.
“Kunjungilah” Allah yang maha besar. Dan semoga menjadi haji mabrur—bukan haji selfie.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.