Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rino Irlandi
Peneliti

Alumnus Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Mewaspadai Presiden "Wayang"

Kompas.com - 17/06/2022, 13:52 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MILA Versteeg dan rekan-rekannya menulis sebuah riset menarik berjudul "The Law And Politics of Presidential Term Limit Evasion" yang dipublikasikan di Columbia Law Review. Riset itu merupakan hasil survei terhadap 234 strategi presiden petahana di 106 negara dalam menghindari batasan masa jabatan.

Mereka menemukan ada dua kategori strategi utama presiden ketika menghindari batas masa jabatan. Kategori pertama adalah strategi yang dilakukan melalui amendemen konstitusi. Kategori kedua merupakan strategi yang dilakukan di luar amendemen konstitusi tetapi konstitusional dan tidak melanggar hukum.

Baca juga: Singgung Presidential Threshold 20 Persen Saat Bertemu KPK, LaNyalla: Buka Lahirnya Calon Presiden Boneka

Menariknya, dalam kategori kedua ini, Mila Versteeg dan rekan-rekannya memasukkan strategi "agen setia" sebagai salah satu upaya yang dilakukan presiden petahana untuk menghindari pembatasan masa jabatan yang terdapat dalam konstitusi. Pendekatan "agen setia" diartikan sebagai strategi mencari presiden pengganti yang dapat dikendalikan oleh presiden petahana setelah dia keluar dari kekuasaan (Mila Versteeg et al, 2020).

Dengan kata lain, presiden yang keluar dari kekuasaan karena masa jabatannya dibatasi berusaha terus berkuasa secara informal dengan cara mencari presiden penggantinya yang dapat ia kendalikan.

Kasus Rusia

Dalam riset itu, Mila Versteeg dan rekan-rekannya menemukan bahwa sejak tahun 2000 strategi "agen setia" sudah di gunakan oleh lima presiden petahana di berbagai negara. Salah satu contoh paling terkenal tentang keberhasilan petahana menggunakan strategi ini terjadi di Rusia.

Tahun 2008, masa jabatan periode kedua Putin berakhir. Menurut Article 81.3 Konstitusi Rusia, Putin tidak boleh lagi menjabat sebagai presiden karena jatah konstitusionalnya sudah habis. Dia harus pergi dari kekuasaan. Kewajibannya adalah membiarkan orang lain yang menjadi presiden.

Namun, kekuasaan bak wanita cantik yang memikat mata dan hati Putin. Dia tak kuasa menahan godaan untuk terus berkuasa. Karena saat itu Konstitusi Rusia melarang Putin menjabat lebih dari dua periode, dia punya cara lain menunaikan hasrat dan cintanya pada kekuasaan.

Tahun 2008, Putin mendorong Dmitri Medvedev yang dipasang sebagai "agen setia Putin" untuk bertarung dalam pemilihan presiden. Saat itu, Medvedev adalah orang yang belum punya pengalaman mengikuti pemilihan presiden dan namanya asing di telinga rakyat Rusia. Namun, berkat dukungan Putin yang popularitasnya tinggi di hadapan rakyat Rusia, Dmitri Medvedev terpilih sebagai Presiden Rusia.

Selama memerintah Rusia, para pengamat politik Rusia percaya bahwa Dmitri Medvedev berada di bawah kontrol Putin (Mila Versteeg et all, 2020).

Baca juga: Kehidupan Vladimir Putin: Keluarga hingga Karier Politiknya

Bahkan, sekalipun Medvedev mengambil kebijakan yang berbeda dari keinginan Putin, sebagian besar pengamat politik di Rusia masih percaya bahwa dia tetap berada di bawah pengaruh kuat Putin (David Landau, 2020).

Dengan kata lain, Dmitri Medvedev saat itu hanyalah presiden "wayang". Dia tidak betul-betul menjadi presiden yang "sebenarnya". Ketika itu, dia hanya menjadi presiden secara formal, tetapi kendali atas jalannya pemerintahan tetap ada pada Putin sebagai dalang sang wayang.

Presiden Joko Widodo berpidato saat menghadiri silaturahmi Relawan Tim 7 Jokowi Presiden di Econvention Ancol, Jakarta, Sabtu (11/6/2022) siang. KOMPAS.com/Ardito Ramadhan D Presiden Joko Widodo berpidato saat menghadiri silaturahmi Relawan Tim 7 Jokowi Presiden di Econvention Ancol, Jakarta, Sabtu (11/6/2022) siang.
Pipres 2024 dan Jokowi

Apa relevansi hasil riset ini dengan konteks Indonesia saat ini? Menjelang pemilihan presiden yang akan berlangsung tahun 2024, Presiden Joko Widodo (Jokowi) terus diseret agar ikut menentukan siapa penerus estafet kepemimpinannya. Hal itu begitu kental terasa karena awak media dan relawan Jokowi berulang kali bertanya tentang siapa calon presiden yang akan didukungnya.

Diskusi-diskusi publik pun semakin banyak menyoroti tema tersebut. Diskusi di televisi, di Zoom, Google Meet terus menyeret nama Jokowi ke dalam pusaran Pemilihan Presiden 2024. Seolah-olah, dengan popularitasnya yang tinggi, Presiden Jokowi layak menjadi penentu kemenangan.

Laporan Tempo baru-baru ini sangat mengejutkan. Media itu menyebutkan, enam orang anggota Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang dibentuk untuk mengusung calon presiden dan calon wakil presiden pada Pilpres 2024 mengatakan bahwa koalisi itu dibentuk untuk mengusung calon presiden pilihan Jokowi.

Apakah itu berarti Jokowi menggunakan strategi "agen setia" agar bisa terus berkuasa secara informal?

George Washington, Presiden pertama Amerika Serikat.via Washington Times George Washington, Presiden pertama Amerika Serikat.
Kembali jadi rakyat biasa

Presiden Amerika Serikat (AS) George Washington telah memberikan teladan. Setelah menyelesaikan jabatannya, dia kembali bekerja di perpustakaan, kembali menjadi rakyat, dan menjalani hidup yang jauh dari pentas politik yang menyilaukan.

Sebagai negarawan, begitulah langkah yang nanti mestinya diambil Jokowi. Kembali ke habitat aslinya menjadi rakyat biasa, dan menyingkir dari panggung politik. Biarkan pentas Pemilihan Presiden 2024 menjadi ajang pertarungan yang fair bagi generasi penerusnya, tanpa embel-embel didukung presiden petahana.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com