PADA bulan Mei 2022 lalu, penulis menyaksikan aksi demonstrasi yang dilaksanakan sejumlah aktivis dan komunitas Muslim di Swiss, tepatnya di Kota Zurich.
Tuntutan demonstran pada saat itu sangatlah jelas, yaitu mendukung kemerdekaan rakyat Palestina.
Demonstrasi dilaksanakan dengan arak-arakan spanduk dan bendera Palestina. Massa berjumlah lebih dari 100 orang, dan berjalan mengelilingi Kota Zurich sembari dikawal sejumlah pihak kepolisian setempat. Secara umum, demonstrasi berjalan tertib dan aman.
Fenomena konflik geopolitik antara Palestina dengan Israel saat ini memang seakan tidak berujung.
Hal ini mendorong munculnya berbagai aksi komunitas Muslim di seluruh dunia untuk mengecam tindakan Israel, sekaligus mendukung kebebasan rakyat Palestina.
Umumnya, komunitas Muslim di Eropa juga menggunakan cara-cara konvensional seperti penggalangan massa dalam menyuarakan pendapat di muka umum, seperti yang terjadi di Indonesia.
Penggalangan massa, khususnya di komunitas Islam, kini lebih populer dikaitkan dengan populisme Islam.
Setelah Zurich, penulis juga menemukan hal yang serupa di Ibu Kota Jerman, tepatnya di jantung Kota Berlin.
Demonstrasi kecil terjadi di depan monumen Brandenburger Tor, melibatkan aktivis dari sebuah komunitas Islam di Jerman.
Atribut yang dibawa para demonstran tidak jauh berbeda dengan di Zurich; poster, spanduk, alat musik ala Timur Tengah, dan bendera Palestina dengan berbagai ukuran.
Hal yang disuarakan juga tidak jauh berbeda; pembebasan rakyat Palestina dari invasi Israel. Jumlah massa lebih sedikit bila dibandingkan dengan demonstrasi di Zurich.
Seperti sebelumnya, aksi juga berjalan dengan aman. Zurich dan Berlin ternyata dapat menyajikan sedikit dari berbagai contoh populisme Islam di tanah Eropa.
Lantas, apa itu populisme Islam? Hingga saat ini, populisme memiliki definisi yang bermacam-macam.
Namun, benang merahnya adalah sebuah metode pendekatan politik yang bertujuan menarik dukungan dari masyarakat yang merasa aspirasinya tidak didengar oleh otoritas pemerintahan.
Populisme biasanya melahirkan pemimpin populis, karena dianggap merupakan jembatan bagi masyarakat tersebut agar suaranya didengar oleh kalangan elite.