“Saya ngelihatin di pintu. Setelah mereka pulang, saya ngejalanin [silat] bisa,” kata dia seperti dikutip Intisari-Online.com, 27 Januari 2014.
Empek Jitong, keturunan pendekar silat generasi kelima dari generasi paling tua yang tercatat dalam silsilahnya, yaitu Lie Ah Djam pendekar silat di Tiongkok Selatan.
Lie Ah Djam punya anak Lie Ah Tjin, kemudian punya anak Lie Tjeng Hok yang menurunkan anak Lie Tong San yang kemudian punya anak Lie Djie Tong (Mpek Jitong).
Lie Tjeng Hok, kakek Empek Jitong lahir di Dadap dari keluarga petani tahun 1854 dan meninggal tahun 1951 dalam usia 97 tahun. Dalam kisah yang disampaikan Lie Tjeng Hok pada anak dan cucunya, seperti yang dituturkan Empek Jitong, Lie Tjeng Hok mendapat ilmu beladiri dari kakeknya, Lie Ah Djam yang pendekar silat Tiongkok melalui pertemuan mistis lewat mimpi.
Satu gerakan silat dterima dalam satu kali mimpi. Gerakan-gerakan lainnya diterima secara bertahap dalam mimpi yang berkali-kali. Gerakan-gerakan yang diperoleh lewat mimpi itu diyakini sebagai warisan dari leluhurnya yang terus dipelihara.
“Lie Tjeng Hok adalah generasi ketiga dari pendahulunya yang hijrah dari Amoi (baca: e-mwi) atau Xiamen, Provinsi Fukien atau Fujian di Tiongkok Selatan,” tulis GJ Nawi dalam bukunya Maen Pukulan Pencak Silat Khas Betawi, (2016).
Mereka secara turun-temurun tinggal di Dadap, pantai utara Tangerang dan mengajarkan ilmu beladiri pada putra-putrinya. Seperti Lie Djie Tong juga mengajarkan silat pada empat anaknya, yakni Eddy Wijaya, Suhanto, Suhandi, dan Ali.
Selain untuk keluarganya, Lie Tjeng Hok juga menurunkan ilmunya kepada orang pribumi Betawi. Salah seorang yang sukses menyerap ilmu Lie Tjeng Hok adalah Ki Murhali yang namanya kesohor sebagai pendekar silat Betawi.
Ki Murhali menjadi pesilat beksi yang hebat. Diceritakan pernah ada seorang pesilat cingkrik yang ingin menjajal kehebatan maen pukulan Ki Murhali. Duel pun terjadi. Pemuda pesilat cingkrik bernama Gozali itu akhirnya menyerah.
Gozali kemudian berguru pada Ki Murhali. Dalam waktu yang relatif singkat, kecerdasan pikiran dan tubuhnya mampu menyerap ilmu beksi. Gozali kemudian pulang dan menyebarkan ilmu beksi di kampung halamannya, Petukangan, Jakarta Selatan.
Kawan-kawannya berdatangan ketika mendengar Gozali sukses menguasai beksi. Mereka belajar pada Gozali, sehingga teman-temannya menjadi jago beksi di Petukangan.
“Hingga kini Petukangan dikenal sebagai pusat penyebaran maen pukulan beksi di Jakarta,” tulis GJ Nawi dalam bukunya.
Tidak disangka ketika perguruan beksi di Dadap meredup, beksi Petukangan yang dibawa Gozali bersinar. Ada empat guru besar beksi di Petukangan. Semuanya murid Gozali.
Mereka adalah Kong H Hasbullah, Kong M Nur, Kong Simin, dan Kong Mandor Minggu. Mereka menjadi tokoh sentral penyebaran beksi. Pada suatu ketika para guru besar itu dipersilakan oleh Gozali menggali ilmu beksi lebih lanjut kepada Ki Murhali, ketika Gozali pergi haji.
Pesatnya perkembangan beksi di Petukangan diakui oleh Lie Djie Tong ketika diwawancarai Intisari.