Apa sebenarnya yang disebut sebagai kenyataan? Kenyataan itu istilah bahasa Indonesia atau reality dalam bahasa Inggris atau realite dalam bahasa Prancis atau realidad dalam bahasa Spanyol atau realitatem dalam bahasa Latin atau wirklichkeit dalam bahasa Jerman atau entah apa dalam bahasa Swahili apalagi Duraquila.
Akibat ingin mengetahui apa yang disebut dengan kenyataan, maka saya mencoba membaca apa yang ditulis oleh para tokoh ilmuwan dan pemikir.
Misalnya, apa yang tersurat di dalam buku:
Seperti yang sejak awal sudah saya khawatirkan karena saya cukup mengenal keterbatasan daya pikir apalagi daya cerna saya terhadap apa yang saya baca maka wajar apabila alih-alih mengerti ternyata saya malah makin tidak mengerti apa sebenarnya yang disebut sebagai kenyataan.
Akibat kemelut kebingungan makin merajalela di kalbu benak saya maka saya memilih untuk lebih mencoba memahami makna kenyataan berdasar yang saya alami pada diri saya sendiri saja.
Akibat beberapa gangguan organik metabolistik yang menerkam diri saya sendiri mulai dari batu empedu sampai para gigi bungsu yang tumbuh bersamaan sehingga paripurna merusak keutuhan mau pun kesehatan gusi saya maka terpaksa saya menjalani operasi yang dilakukan para tim bedah perut, sekat rongga badan sampai gusi yang kesemuanya dilakukan dengan membius saya secara total.
Saya masih ingat bagaimana daya penginderaan saya secara lambat namun pasti berhenti berfungsi akibat obat bius yang disuntikan oleh dokter anastesi ke dalam tubuh saya.
Pada saat segenap daya penginderaan saya terbius total maka berhenti berfungsi secara total itu maka saya kehilangan kesadaran terhadap kenyataan.
Tidak ada yang saya lihat, dengar, cium, raba bahkan sama sekali tidak ada yang saya rasakan.
Pada saat segenap daya penginderaan saya lenyap itu serta merta apa yang disebut sebagai kenyataan juga ikut lenyap secara paripurna dan sempurna.
Maka untuk sementara ini saya memberanikan diri menarik kesimpulan secara organoleptik subjektif diri saya sendiri bahwa pada hakikatnya kenyataan adalah sesuatu yang saya lihat, dengar, cium, raba dan rasa sesuai dengan daya penginderaan saya.
Saya sadar bahwa kesimpulan saya terhadap apa yang disebut sebagai kenyataan memang bukan konseptual namun kontekstual subjekfif terkait pada kesadaran diri saya sendiri.
Sementara kesadaran saya terkait pada daya penginderaan diri saya sendiri. Tanpa perlu diragukan jelas bahwa kesimpulan saya tidak sempurna sebab saya manusia maka mustahil sempurna sama tidak sempurnanya dengan Dawkins, Lanza, Rovelli, Kuehn, Descrates, Wilczek, Gregory, Einstein, Hawking, Baggott atau siapa pun juga di metaverse ini.
Maka mohon dimaafkan bahwa wajar kesimpulan saya tentang apa yang disebut sebagai kenyataan pada kenyataan memang ternyata nirsempurna. Serta mustahil akan sempurna sampai hayat berhenti dikandung badan saya sendiri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.