Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ishaq Zubaedi Raqib
Mantan Wartawan

Ketua LTN--Infokom dan Publikasi PBNU

Pahlawan, Jihad, dan Kehidupan

Kompas.com - 10/11/2021, 10:35 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Menjadi ironis, jika jihad selalu dimaknai perang suci. Jihad masa kini orientasinya lebih kepada hifdzun nafs, nasl, din—menjaga keberlangsung hidup, keturunan dan keberagamaan.

Menyiapkan lapangan kerja, mengentaskan kemiskinan, menjamin hak-hak pendidikan, memberi rasa aman, damai dan terciptanya harmoni sosial adalah jihad akbar. Heroisme terkait ini, adanya di tangan pemimpin.

Inilah jihad yang menghidupkan!

Sesuai tujuannya, maka seorang pemimpin memiliki tanggungjawab besar mengatur kemaslahatan umat.

Selain dituntut menjaga eksistensi agama, tugas pemimpin semakin berat karena harus menjalankan roda pemerintahan sesuai nilai ilahiyah. Pemimpin yang berjihad demi kemaslatan umat, wajib dapat dukungan jihad serupa dari umat.

Tetap ditaati

Karena besarnya tanggung jawab seorang pemimpin, maka selain wajib taat, umat Islam juga wajib membantu mereka mewujudkan nilai-nilai kebaikan.

Imam Abu Ya’la berkata, “Jika seorang imam telah menunaikan hak-hak rakyat, maka wajib bagi rakyat untuk memberinya dua hak: ketaatan dan pertolongan. Hak itu tetap harus dijaga selama pemimpin tidak melakukan sesuatu yang dapat membatalkan kedudukannya.” (Ahkam Sulthaniyah)

Selain wajib menaati kebijakannya, Islam menyeru umat berjihad membantu pemimpin ketika ada sekelompok orang yang hendak merampas kedudukannya.

Dalam salah satu firman-Nya, Allah menyuruh memerangi pemberontak-- ahlul bughat, yang hendak merebut kekuasaan pemimpin.

Umat Islam dituntut selalu menghormati para pemimpin, berdoa untuk mereka, serta tidak meremehkan apalagi merendahkan kedudukannya.

Imam Fudhail bin Iyadh berkata, “Andai aku memiliki suatu doa mustajab (yang pasti dikabulkan) niscaya akan aku peruntukkan bagi penguasa, karena baiknya seorang penguasa akan membawa kebaikan pula bagi negeri dan rakyat.” (Bidayah Wan Nihayah).

Sikap yang seperti ini mudah ditemui dalam kehidupan ulama salafus shaleh ketika menyikapi para penguasa pada zamannya.

Bahkan, Imam Malik berpendapat, umat Islam tetap harus menaati ulil amri yang berlaku lalim asal ia masih taat kepada Allah.

Batas ketaatan pemimpin adalah ketika ia tetap berpegang kepada prinsip-prinsip ushul dalam beragama. Di antara tandanya, dia mengerjakan shalat.

Jika ada sekelompok pemberontak dan ingin merebut kekuasaan si pemimpin maka umat Islam tidak boleh membantunya, hanya karena dia pemimpin yang zalim.

Wallahu A'lam.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com