Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ishaq Zubaedi Raqib
Mantan Wartawan

Ketua LTN--Infokom dan Publikasi PBNU

Pahlawan, Jihad, dan Kehidupan

Kompas.com - 10/11/2021, 10:35 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DI luar fungsi-fungsi nubuwah, Nabi Muhammad sering disebut sosok hebat dengan sejumlah julukan. Misalnya, sebagai pahlawan, negarawan, administratur ulung, solidarity maker, orator cakap, negosiator andal, ahli strategi, taktikus jitu, dan lain sebagainya.

Bahkan, bagi beberapa orang yang ghirah-nya menggelegak, Nabi adalah seorang panglima besar. Jenderal penuh heroisme yang memetik kemenangan demi kemenangan dari banyak medan perang.

Kelompok pemilik ghirah yang ultrapatriotik, rujukan teologisnya adalah ajaran jihad. Istilah ini pertama kali didengar kaum muslim dari Nabi seusai Perang Badar.

Diktum ini terus bermetamorfosis, maknanya bercabang-cabang, menyertai pasang surut perkembangan umat Islam.

Namun dalam praksisnya, jihad kerap disoal karena sering dimaknai secara parsial: perang semata. Dalam konteks ini, makna jihad mengalami deviasi.

Sejatinya, secara etimologis, jihad tidak mengandung makna kekerasan meski secara terminologis sejumlah ulama memaknai jihad sebagai ikhtiar memerangi kaum kafir dan kekafiran.

Menyimak sirah yang dilaporkan para sejarawan Islam, baik Ibnu Ishaq maupun Ibnu Hisyam, At Thabary atau Ibn Abbas ra, rekam jejak Nabi dan tapak-tapak magis kuda tunggangan beliau, lebih mudah ditemukan di sejumlah perang besar yang sangat menentukan saja.

Pada Perang Badar yang melahirkan para hero, Nabi mengomando pasukan yang berjumlah sekitar 300-an  orang melawan pasukan kafir Qurasy sebanyak 1.000 orang.

Umat Islam berjaya. Nama Nabi kian menggetarkan kaum paganis Mekkah. Kemenangan di Badar menjadi elan vital bagi entitas Islam awal.

Anehnya, saat kaum muslimin berucap syukur, Nabi malah menyebut ini cuma jihad kecil. Jihad terbesar adalah perang melawan diri sendiri. Itulah pahlawan sebenarnya.

Kaum muslimin baru menyadari maknanya yang sejati justru setelah Rasul memberi tuntunan jihad.

Secara politis, sejak itu kaum musyrikin tidak lagi leluasa mengganggu umat Islam. Mereka mulai berhitung.

Mereka mulai memosisikan umat Islam sebagai komunitas yang sepadan dan sederajat. Sejak itu, setiap muncul masalah, jalan keluarnya adalah traktat perjanjian.

Jihad fi sabilillah

Dalam peristiwa Khandaq, tanpa perang terbuka dan tak setetes pun darah tercecer, pasukan koalisi Quraisy-Yahudi justeru saling curiga satu sama lain sehingga melemahkan kekuatan mereka.

Di perang ini, kaum muslimin kembali unggul. Padahal, sering untuk menang, jatuhnya korban jiwa dalam perang, hal yang sulit dihindari. Perang harus bermakna kematian. Namun, Nabi Muhammad secara jenius dan arif, berhasil mematahkan teori itu.

Selama 23 tahun berdakwah, Rasul mengalami 9 kali perang besar (Nabi terlibat langsung) dan 53 kali ekspedisi militer. Selama 10 tahun peperangan, jumlah korban yang jatuh dari kedua pihak "hanya" 379 jiwa.

Dalam konteks ini, jihad mesti menghidupkan bukan mematikan. Simaklah Perang Dunia (PD) I (1914-1918), 4 tahun, menelan korban sekitar 15 juta jiwa. PD II (1939-1945) jumlah korban membengkak hingga 62 juta lebih nyawa manusia melayang.

Bila merujuk pada makna yang diajarkan Nabi sepulang dari Badar, maka jihad terbesar dan tanpa batas waktu adalah melawan dan menaklukkan diri sendiri. Menaklukkan egoisme.

Jihad yang menghidupkan. Bukan jihad yang mematikan.

Kalau bisa, berjihad demi tetap menjaga berlangsungnya hidup dan kehidupan di jalan Tuhan— fi sabilillah, kenapa masih ada yang memilih jalan mati di jalan-Nya?

Pertanyaan ini muncul akibat adanya perbedaan pandangan para fuqaha tentang konsepsi dasar soal hubungan antara muslim dengan non muslim.

Ada ulama yang berpandangan bahwa memerangi orang kafir sebagai bentuk pembelaan diri, karena mereka memerangi atau mengganggu umat Islam. Jihad yang bertujuan mempertahankan diri, disebut jihad ad-daf’u --jihad defensif.

Ulama lainnya, memandang hubungan antara muslim dengan non muslim atas dasar perang. Memerangi orang kafir karena kekafirannya.

Mereka berpandangan dengan konsep jihad at-thalab--jihad ofensif. Berbeda dengan dua golongan ulama, kaum orientalis banyak yang percaya Islam disebarkan dengan pedang.

Ironisnya, seperti para orientalis, tak sedikit umat Islam meyakini perlunya sikap agresif dalam menebarkan Islam.

Jihad Mekkah, Jihad Madinah

Kata jihad dalam Islam, bertebaran di Alqur’an dan Hadits. Dengan segala derivasinya, Alqur’an menyebut 41 kali, turun di Mekkah dan Madinah.

Ayat-ayat jihad yang turun di Mekkah, tak ada yang berkaitan dengan perang. Tak terkait aksi militer, apalagi konfrontasi.

Lebih kepada makna etis-moral. Jihad dalam periode Mekkah berarti berusaha agar umat selalu berada dalam lentera iman yang sah dan bersabar atas intimidasi kaum musyrikin.

Jihad yang dimaknai sebagai perang, justru terjadi setelah Nabi hijrah ke Madinah. Jihad dalam makna berperang untuk mempertahankan diri atas penganiayaan dan serangan orang-orang kafir.

Dalam konteks kekinian, pendapat ulama golongan pertama, dipandang lebih kuat, yakni Rasul mengizinkan perang atas dasar jihad yang defensif. Melawan karena membela diri. Bukan menaklukkan dunia agar menerima Islam.

Pandangan ini berlandaskan ijma’ bahwa dalam perang tidak dibenarkan membunuh wanita, rahib, dan terutama anak-anak.

Andaikata memerangi orang kafir itu karena faktor kekafirannya, maka para rahib jadi target utama.

Tapi Nabi malah melarang itu. Landasan lainnya, bahwa ayat-ayat Alqur’an tentang perang tidak bersifat mutlaq, melainkan muqayyad, dibatasi suatu sebab,  yaitu membela diri atau pembelaan terhadap penganiayaan.

Tapi secara kasuistis, karena kenangan akan glorifikasi sejarah, masih ada umat yang memaknai jihad dengan perang semata.

Tak sedikit yang menyukai jihad kecil seperti Perang Badar, tapi mereka tidak suka jihad akbar—memerangi hawa nafsu.

Jika jihad kecil bersifat temporal dan tentatif, maka jihad akbar tak mengenal batas waktu sehingga butuh stamina dan kekuatan kontrol diri secara terus menerus.

Menjadi ironis, jika jihad selalu dimaknai perang suci. Jihad masa kini orientasinya lebih kepada hifdzun nafs, nasl, din—menjaga keberlangsung hidup, keturunan dan keberagamaan.

Menyiapkan lapangan kerja, mengentaskan kemiskinan, menjamin hak-hak pendidikan, memberi rasa aman, damai dan terciptanya harmoni sosial adalah jihad akbar. Heroisme terkait ini, adanya di tangan pemimpin.

Inilah jihad yang menghidupkan!

Sesuai tujuannya, maka seorang pemimpin memiliki tanggungjawab besar mengatur kemaslahatan umat.

Selain dituntut menjaga eksistensi agama, tugas pemimpin semakin berat karena harus menjalankan roda pemerintahan sesuai nilai ilahiyah. Pemimpin yang berjihad demi kemaslatan umat, wajib dapat dukungan jihad serupa dari umat.

Tetap ditaati

Karena besarnya tanggung jawab seorang pemimpin, maka selain wajib taat, umat Islam juga wajib membantu mereka mewujudkan nilai-nilai kebaikan.

Imam Abu Ya’la berkata, “Jika seorang imam telah menunaikan hak-hak rakyat, maka wajib bagi rakyat untuk memberinya dua hak: ketaatan dan pertolongan. Hak itu tetap harus dijaga selama pemimpin tidak melakukan sesuatu yang dapat membatalkan kedudukannya.” (Ahkam Sulthaniyah)

Selain wajib menaati kebijakannya, Islam menyeru umat berjihad membantu pemimpin ketika ada sekelompok orang yang hendak merampas kedudukannya.

Dalam salah satu firman-Nya, Allah menyuruh memerangi pemberontak-- ahlul bughat, yang hendak merebut kekuasaan pemimpin.

Umat Islam dituntut selalu menghormati para pemimpin, berdoa untuk mereka, serta tidak meremehkan apalagi merendahkan kedudukannya.

Imam Fudhail bin Iyadh berkata, “Andai aku memiliki suatu doa mustajab (yang pasti dikabulkan) niscaya akan aku peruntukkan bagi penguasa, karena baiknya seorang penguasa akan membawa kebaikan pula bagi negeri dan rakyat.” (Bidayah Wan Nihayah).

Sikap yang seperti ini mudah ditemui dalam kehidupan ulama salafus shaleh ketika menyikapi para penguasa pada zamannya.

Bahkan, Imam Malik berpendapat, umat Islam tetap harus menaati ulil amri yang berlaku lalim asal ia masih taat kepada Allah.

Batas ketaatan pemimpin adalah ketika ia tetap berpegang kepada prinsip-prinsip ushul dalam beragama. Di antara tandanya, dia mengerjakan shalat.

Jika ada sekelompok pemberontak dan ingin merebut kekuasaan si pemimpin maka umat Islam tidak boleh membantunya, hanya karena dia pemimpin yang zalim.

Wallahu A'lam.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com