Jihad yang menghidupkan. Bukan jihad yang mematikan.
Kalau bisa, berjihad demi tetap menjaga berlangsungnya hidup dan kehidupan di jalan Tuhan— fi sabilillah, kenapa masih ada yang memilih jalan mati di jalan-Nya?
Pertanyaan ini muncul akibat adanya perbedaan pandangan para fuqaha tentang konsepsi dasar soal hubungan antara muslim dengan non muslim.
Ada ulama yang berpandangan bahwa memerangi orang kafir sebagai bentuk pembelaan diri, karena mereka memerangi atau mengganggu umat Islam. Jihad yang bertujuan mempertahankan diri, disebut jihad ad-daf’u --jihad defensif.
Ulama lainnya, memandang hubungan antara muslim dengan non muslim atas dasar perang. Memerangi orang kafir karena kekafirannya.
Mereka berpandangan dengan konsep jihad at-thalab--jihad ofensif. Berbeda dengan dua golongan ulama, kaum orientalis banyak yang percaya Islam disebarkan dengan pedang.
Ironisnya, seperti para orientalis, tak sedikit umat Islam meyakini perlunya sikap agresif dalam menebarkan Islam.
Kata jihad dalam Islam, bertebaran di Alqur’an dan Hadits. Dengan segala derivasinya, Alqur’an menyebut 41 kali, turun di Mekkah dan Madinah.
Ayat-ayat jihad yang turun di Mekkah, tak ada yang berkaitan dengan perang. Tak terkait aksi militer, apalagi konfrontasi.
Lebih kepada makna etis-moral. Jihad dalam periode Mekkah berarti berusaha agar umat selalu berada dalam lentera iman yang sah dan bersabar atas intimidasi kaum musyrikin.
Jihad yang dimaknai sebagai perang, justru terjadi setelah Nabi hijrah ke Madinah. Jihad dalam makna berperang untuk mempertahankan diri atas penganiayaan dan serangan orang-orang kafir.
Dalam konteks kekinian, pendapat ulama golongan pertama, dipandang lebih kuat, yakni Rasul mengizinkan perang atas dasar jihad yang defensif. Melawan karena membela diri. Bukan menaklukkan dunia agar menerima Islam.
Pandangan ini berlandaskan ijma’ bahwa dalam perang tidak dibenarkan membunuh wanita, rahib, dan terutama anak-anak.
Andaikata memerangi orang kafir itu karena faktor kekafirannya, maka para rahib jadi target utama.
Tapi Nabi malah melarang itu. Landasan lainnya, bahwa ayat-ayat Alqur’an tentang perang tidak bersifat mutlaq, melainkan muqayyad, dibatasi suatu sebab, yaitu membela diri atau pembelaan terhadap penganiayaan.
Tapi secara kasuistis, karena kenangan akan glorifikasi sejarah, masih ada umat yang memaknai jihad dengan perang semata.
Tak sedikit yang menyukai jihad kecil seperti Perang Badar, tapi mereka tidak suka jihad akbar—memerangi hawa nafsu.
Jika jihad kecil bersifat temporal dan tentatif, maka jihad akbar tak mengenal batas waktu sehingga butuh stamina dan kekuatan kontrol diri secara terus menerus.