Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wisnu Nugroho
Pemimpin Redaksi Kompas.com

Wartawan Kompas. Pernah bertugas di Surabaya, Yogyakarta dan Istana Kepresidenan Jakarta dengan kegembiraan tetap sama: bersepeda. Menulis sejumlah buku tidak penting.

Tidak semua upaya baik lekas mewujud. Panjang umur upaya-upaya baik ~ @beginu

Bougenville, Anggrek Bulan, dan Persahabatan PK Ojong-Jakob Oetama

Kompas.com - 28/09/2021, 09:01 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

HAI, apa kabarmu?

Semoga kabarmu baik bersamaan dengan membaiknya situasi yang kita hadapi karena pandemi.

Kita mendapati, sebulan terakhir, aktivitas kita berangsur-angsur normal. Sejumlah kegiatan yang semula dilarang mulai dimungkinkan dengan penerapan protokol kesehatan secara disiplin.

Situasi yang menggembirakan tentunya bersamaan dengan terkendalinya penularan Covid-19 karena terus turunnya kasus penularan dan meningkatnya jumlah vaksinasi.

Dibandingkan saat kasus penularan memuncak pada 15 Juli 2021 dengan 56.757 kasus dalam sehari, Senin (27/9/2021) didapati 1.390 kasus.  

Tidak heran jika capaian menggembirakan ini membuat masyarakat mulai percaya diri untuk memulai aktivitas yang sebelumnya tidak dilakukan.

Yang terbaru dan membukakan harapan adalah pagelaran musik yang dimungkinkan secara langsung. Setelah terhenti total selama 1,5 tahun, Jazz Gunung Bromo 2021 membuka harapan itu.

Sebelumnya kita mendapati pelonggaran untuk pemutaran film di bioskop dan aktivitas di pusat perbelanjaan. Berbarengan dengan itu, kegiatan sekolah tatap muka juga dimungkinkan.

Dengan membaiknya situasi dan disiplinnya kita menerapkan protokol kesehatan, semoga berangsur-angsur semua kegiatan dimungkinkan.

Dalam situasi yang terus membaik ini, Senin (27/9/2021), saya kembali bekerja dari kantor. Kerja dari kantor diawali dengan peresmian peletakan patung tembaga dua pendiri Kompas Gramedia di halaman depan Bentara Budaya Jakarta.

Peresmian patung setengah badan PK Ojong dan Jakob Oetama bersisian ini bertepatan dengan peringatan hari lahir Jakob Oetama yang meninggal 9 September 2020.

Patung Jakob Oetama karya perupa realis Azmir Azhari (68) dibuat sekitar tiga bulan terakhir. Sementara patung PK Ojong sudah ada sejak tahun 1987 atau tujuh tahun sejak meninggal dunia.

Peresmian patung dua perintis Kompas Gramedia ini dihadiri perwakilan karyawan, keluarga, dan sehabat-sehabat mereka secara daring. Di antara sahabat yang hadir secara daring adalah Jusuf Kalla dan Jusuf Wanandi.

Dalam pengantar peresmian peletakan dua patung perintis disebut kegemaran PK Ojong dan Jakob Oetama soal tanaman.

Dua patung tembaga pendiri Kompas Gramedia PK Ojong dan Jakob Oetama berdiri bersisian halaman depan di Bentara Budaya Jakarta, Senin (27/9/2021). Patung tembaga ini karya perupa patung realis Azmir Ashari. Dua patung tembaga pendiri Kompas Gramedia PK Ojong dan Jakob Oetama berdiri bersisian halaman depan di Bentara Budaya Jakarta, Senin (27/9/2021). Patung tembaga ini karya perupa patung realis Azmir Ashari.
Tanaman kegemaran itu seperti mencerminkan karakter keduanya yang berbeda dan saling melengkapi untuk kemajuan. PK Ojong penggemar tanaman bougenville sementara Jakob Oetama penggemar anggrek bulan.

Kedua tanaman itu ditanam di sekitar dua patung perintis ini. Bougenville senang dengan terik matahari langsung. Anggrek bulan senang dengan keteduhan.

Tidak heran jika di lingkungan Kompas Gramedia, dua tanaman ini banyak dijumpai di hampir semua sudut. Di teras, di parkiran, dan menempel di teduhnya tanaman-tanaman.

Selain soal pilihan tanaman yang berbeda, patung yang berdiri bersisian juga menunjukkan dua karakter berbeda perintis yang saling melengkapi.

PK Ojong menatap ke atas sementara Jakob Oetama menatap ke bawah. PK Ojong rambutnya klimis rapi sementara Jakob Oetama terurai gondrong.

Kesamaan keduanya adalah sama-sama memakai kacamata berbingkai tebal.

Menjumpai dua patung yang bersisian ini, saya lantas ingat kuliah-kuliah filsafat dan lukisan "The School of Athens" karya Raphael (1509-1511).

Mungkin berlebihan. Tetapi, gambaran itu yang muncul segera di benak saya begitu menatap dua patung perintis yang berlatar belakang guru.

Saya konfirmasi gambaran yang muncul di benak saya ke salah satu anggota keluarga PK Ojong. Dia kaget, tak menduga, dan kemudian tertawa mendengar perbandingan itu.

Kesukaan saya pada filsafat memungkinkan munculnya gambaran itu. Buktinya, mereka yang tidak menyukai filsafat tidak menangkap gambaran serupa. Itu hiburan untuk pikiran saya yang melanglang buana hanya karena melihat patung saja.

Mazhab Athena atau School of Athens, sebuah fresko karya Raphael Sanzio yang menggambarkan para filsuf renaisans berdiri di dekat para ilmuwan Romawi dan Yunani kuno.Wikimedia Commons Mazhab Athena atau School of Athens, sebuah fresko karya Raphael Sanzio yang menggambarkan para filsuf renaisans berdiri di dekat para ilmuwan Romawi dan Yunani kuno.
Soal perbedaan yang saling melengkapi menjadi warna persahabatan dan perjalanan PK Ojong dan Jakob Oetama serta Kompas Gramedia yang dirintis keduanya.

Perjumpaan Jakob dengan PK Ojong terjadi tahun 1958. Saat itu, PK Ojong memimpin harian Keng Po dan mingguan Star Weekly, sedangkan Jakob di Penabur.

Mereka selanjutnya kerap bertemu dalam kegiatan sosial, politik, dan budaya. Pertemuan-pertemuan keduanya kemudian terjadi rutin begitu saja.

Awal tahun 1960-an situasi, politik kala itu terasa begitu mengekang. Partai Komunis berpengaruh besar dalam pemerintahan.

Harian Keng Po diberangus pemerintah tahun 1958. Star Weekly mengalami nasib serupa tahun 1961. Kedua terbitan itu tidak disukai pemerintah karena sikap kritisnya.

Suatu hari, sambil menonton sendratari Ramayana di Prambanan, Jawa Tengah, dilanjutkan dengan makan ayam goreng Mbok Berek, PK Ojong mengajak Jakob mendirikan majalah baru yang tujuannya menerobos kekangan informasi yang saat itu didominasi pemerintah di bawah kendali komunis.

Pembicaraan itu berlanjut dengan mendirikan majalah Intisari pada tahun 1963. Misi majalah itu adalah mendobrak kekangan politik isolasi yang dilakukan pemerintah.

Mereka merasakan, situasi kala itu membutuhkan sebuah media yang memuat artikel-artikel human story yang membuka mata dan telinga masyarakat.

Generasi pertama Intisari, dari kiri ke kanan: Jakob Oetama, PK Ojong, Adi Subrata, dan IrawatiDokumen Kompas Generasi pertama Intisari, dari kiri ke kanan: Jakob Oetama, PK Ojong, Adi Subrata, dan Irawati
Intisari terbit pertama pada 17 Agustus 1963 dengan ukuran 14 x 17,5 sentimeter, hitam putih tanpa kulit muka, tebal 128 halaman.

Edisi perdana dicetak 10.000 eksemplar dengan harga jual per eksemplar Rp 60 untuk Jakarta dan Rp 65 di luar Jakarta. Nama dan logo Intisari sama persis dengan rubrik halaman pertama yang diasuh Ojong di Star Weekly yang ditutup.

Sejumlah penulis di edisi perdana antara lain Nugroho Notosusanto (kelak menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di era Orde Baru), Soe Hok Djin yang kemudian berganti nama menjadi Arief Budiman, Soe Hok Gie adik Soe Hok Djin yang dikenang sebagai aktivis mahasiswa 1966, dan Kapten Ben Mboi (kelak menjadi Gubernur Nusa Tenggara Timur).

Saat tengah asyik-asyiknya menggulati Intisari, Menteri Perkebunan Frans Seda dari Partai Katolik meminta keduanya untuk mendirikan surat kabar Partai Katolik.

Seda menginginkan adanya koran Partai Katolik karena permintaan Menteri/Panglima TNI AD Letjen Ahmad Yani. Alasannya, hampir semua partai kala itu memiliki corong partai.

Perlu juga dipahami konstelasi politik saat itu. Ada tiga kekuatan politik besar.

Pertama, Bung Karno sebagai Pemimpin Besar Revolusi dan Kepala Pemerintahan yang mengonsolidasikan kekuatan dan kekuasaan politiknya melalui pengembangan demokrasi terpimpin.

Kedua, ABRI, yang berusaha meredam kekuatan politik PKI melalui kerja sama dengan organisasi-organiasi masyarakat dan politik non atau anti-komunis.

Ketiga, Partai Komunis Indonesia yang merapat ke Bung Karno.

Ide Ahmad Yani, Partai Katolik perlu memiliki sebuah media untuk mengimbangi kekuatan PKI.
Ojong dan Jakob kemudian bersepakat mendirikan sebuah koran yang diharapkan menjadi sebuah jalan tengah.

Meskipun lahir dari inisiatif tokoh Partai Katolik, koran itu bukanlah corong partai. Koran itu harus berdiri di atas semua golongan, oleh karena itu harus bersifat umum, didasarkan pada kenyataan kemajemukan Indonesia, harus menjadi cermin realitas Indonesia, mengatasi suku, agama, ras, dan latar belakang lainnya.

“Dia harus mencerminkan miniaturnya Indonesia,” kata Jakob.

Mulanya, nama yang dipilih andalah “Bentara Rakyat”. Artinya, koran itu memang dimaksudkan untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia rakyat. Motonya pun dipilih “Amanat Penderitaan Rakyat”.

Saat Frans Seda bertemu Bung Karno, Si Bung Besar tidak setuju dengan nama “Bentara Rakyat”.

Bung Karno berkata, “Aku akan memberi nama yang lebih bagus...”Kompas”! Tahu toh, apa itu kompas? Pemberi arah dan jalan dalam mengarungi lautan dan hutan rimba!”.

Jadilah nama pemberian Bung Karno itu digunakan sebagai nama koran hingga sekarang.

Dalam perjalanan membesarkan Intisari dan Kompas, Jakob dan PK Ojong berbagi tugas. Jakob mengurusi editorial, sementara PK Ojong bisnis.

[ARSIP] Pemimpin Umum Harian Kompas, Jacob Oetama hadir pada perayaan syukuran dan peluncuran buku HUT Ke-50 Harian Kompas di Bentara Budaya Jakarta, Minggu (28/6/2015). Pendiri Kompas Gramedia, Jakob Oetama (88) meninggal dunia di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading, Jakarta, Rabu (9/9/2020).KOMPAS.com/KRISTIANTO PURNOMO [ARSIP] Pemimpin Umum Harian Kompas, Jacob Oetama hadir pada perayaan syukuran dan peluncuran buku HUT Ke-50 Harian Kompas di Bentara Budaya Jakarta, Minggu (28/6/2015). Pendiri Kompas Gramedia, Jakob Oetama (88) meninggal dunia di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading, Jakarta, Rabu (9/9/2020).
Namun kemudian, situasinya menjadi tidak mudah bagi Jakob. Setelah 15 tahun kebersamaannya dengan PK Ojong membangun Kompas, PK Ojong meninggal mendadak dalam tidurnya tahun 1980.

Kepergian PK Ojong meninggalkan beban berat di pundak Jakob. Jika selama ini konsentrasinya mengurusi bidang redaksional, ia kini juga harus mengurusi aspek bisnis.

"Kelebihan saya adalah saya tahu diri tidak tahu bisnis,” ujar Jakob.

Sikap dasar ini yang kemudian mengembangkan Kompas Gramedia yang dirintisnya bersama PK Ojong.

Menatap dua patung perintis lebih detail saya mendapati tulisan "Providentia Dei" di sisi kiri patung Jakob Oetama dekat dengan saku berisi pena.

Kalimat itu meringkaskan rentang perjalanan Kompas Gramedia sampai hari ini. Semua terjadi karena penyelengaraan Ilahi. 

Dua patung tembaga di jantung Bentara Budaya Jakarta mengingatkan hal ini.

Salam syukur.
Wisnu Nugroho. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com