Di samping itu, Bhima juga menyarankan agar pemerintah perlu mewaspadai kemampuan bayar utang luar negeri berkaitan dengan penerimaan valas.
Apabila meminjam dalam bentuk dollar, maka harus dikembalikan dalam bentuk dollar.
Akan tetapi, yang menjadi masalah adalah kekuatan ekspor Indonesia apakah sudah berkualitas dan meningkat secara konsisten atau belum.
"Ini bisa terlihat dari debt service ratio atas ekspor di 27,9 persen tahun 2020, yang artinya kinerja utang belum dibarengi kenaikan sektor produktif ekspor," katanya lagi.
Baca juga: Mengenal Apa Itu Resesi Ekonomi dan Bedanya dengan Depresi Ekonomi
Bhima menekankan, pada 2022, tantangan terhadap kenaikan beban utang semakin tinggi bukan saja karena defisit APBN, tapi juga tantangan tapering off bank sentral negara maju serta risiko kenaikan suku bunga SBN untuk menahan laju capital outflow.
"Pemerintah akan terus berutang dalam laju yang sangat cepat, bahkan belum ada bandingannya dalam sejarah Indonesia," tandasnya.
Baca juga: Siap-siap Resesi Ekonomi, Ini Dampak dan Cara Mengatasinya...