Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Sri Mulyani Yakin Utang Negara Bisa Dibayar Lewat Pajak, Ini Kata Ekonom...

KOMPAS.com - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani meyakini pemerintah bisa membayar tunggakan utang apabila penerimaan pajak berhasil dikumpulkan.

Menurutnya, pemerintah mengambil pembiayaan utang untuk menutupi defisit fiskal karena berkurangnya penerimaan serta naiknya belanja selama pandemi Covid-19.

"Penerimaan negara kita merosot, oleh karena itu kita masih harus mengalami defisit dan berutang. Namun, kita yakin bisa membayar lagi apabila penerimaan pajak bisa dikumpulkan," ujarnya dikutip dari Kompas.com, Rabu (25/8/2021).

Bendahara negara ini mengungkap, penarikan utang dilakukan agar pemerintah tidak menunggu dan berpangku tangan ketika penerimaan negara menurun.

Semua pemasukan yang ada difokuskan untuk penanganan pandemi dan perlindungan sosial hingga insentif dunia usaha untuk menjaga daya beli masyarakat.

Ia merinci, utang dan pajak diarahkan untuk belanja negara berupa insentif nakes, pengadaan vaksinasi, dan insentif pajak untuk barang-barang lain yang berhubungan dengan Covid-19. Pun juga untuk pembangunan rumah sakit darurat.

Belanja di bidang kesehatan dan bansos bahkan berlanjut pada 2021 hingga 2022. Tahun ini saja, pemerintah membelanjakan Rp 214,96 triliun untuk pengadaan vaksin, testing tracing treatment, insentif tenaga kesehatan, dan biaya perawatan pasien Covid-19.

Kemudian ketika PPKM berlaku, pemerintah meningkatkan bansos yang masuk dalam program perlindungan sosial dengan anggaran Rp 186 triliun lebih.

Bagaimana analisis ekonom?


Seharusnya tidak cuma pajak...

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, saat pandemi Covid-19, pemerintah menerbitkan global bond senilai 1 miliar dollar AS (Rp 14,4 triliun) dengan masa jatuh tempo 50 tahun.

Global bond merupakan obligasi internasional atau surat utang negara yang diterbitkan oleh suatu negara dalam valuta asing.

Artinya, lanjut Bhima, sampai 2070 mendatang pemerintah akan meninggalkan beban utang.

Menurutnya, kemampuan membayar utang pemerintah seharusnya tidak cuma persoalan penerimaan pajak, tapi juga efektivitas belanja pemerintah apakah produktif atau tidak.

"Dengan belanja yang produktif akan menciptakan pertumbuhan ekonomi sehingga Produk Domestik Bruto-nya bisa imbangi kenaikan utang," ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Kamis (26/8/2021).

"Tapi ini belum terjadi ya, misalnya sepanjang 2014-2021, belanja pemerintah pusat yang naik tinggi adalah belanja konsumtif, yakni belanja pembayaran bunga utang naik 180 persen, disusul belanja barang naik 105 persen, dan belanja pegawai 73 persen," imbuhnya.

Sementara, kata Bhima, belanja yang berkaitan dengan penggerak ekonomi seperti halnya belanja modal, hanya tumbuh 68 persen.

Semakin tinggi penggunaan utang untuk hal yang konsumtif, maka beban utang akan naik tetapi tidak berdampak banyak bagi perekonomian.

"Pemerintah enggak bisa kemudian bilang, pajak harus naik untuk bayar utang. Itu terlalu menyederhanakan masalah. Pemerintah harus berkaca diri, lihat postur anggarannya sudah ideal belum dari sisi belanja," ucap dia.

Kemudian, tuturnya, perlu juga dicek bagaimana penggunaan dana APBN untuk pemerintah daerah (Pemda), di mana dalam kondisi krisis masih ada Rp 172,5 triliun dana Pemda yang disimpan di perbankan per Mei 2021.

Menurut Bhima, dana alokasi umum dari pemerintah pusat masih besar porsinya untuk membiayai birokrasi seperti belanja pegawai yang rata-rata 32,4 persen dari total belanja Pemda.

"Kemudian bagaimana serapan belanja pemerintah terkait anggaran kesehatan dan perlindungan sosial dalam PEN. Kalau ada pembenahan serius sebenarnya beban utang bisa ditekan. Ini masalah politik anggaran arahnya ke sana atau tidak," ungkapnya.

Di samping itu, Bhima juga menyarankan agar pemerintah perlu mewaspadai kemampuan bayar utang luar negeri berkaitan dengan penerimaan valas.

Apabila meminjam dalam bentuk dollar, maka harus dikembalikan dalam bentuk dollar.

Akan tetapi, yang menjadi masalah adalah kekuatan ekspor Indonesia apakah sudah berkualitas dan meningkat secara konsisten atau belum.

"Ini bisa terlihat dari debt service ratio atas ekspor di 27,9 persen tahun 2020, yang artinya kinerja utang belum dibarengi kenaikan sektor produktif ekspor," katanya lagi.

Bhima menekankan, pada 2022, tantangan terhadap kenaikan beban utang semakin tinggi bukan saja karena defisit APBN, tapi juga tantangan tapering off bank sentral negara maju serta risiko kenaikan suku bunga SBN untuk menahan laju capital outflow.

"Pemerintah akan terus berutang dalam laju yang sangat cepat, bahkan belum ada bandingannya dalam sejarah Indonesia," tandasnya.

https://www.kompas.com/tren/read/2021/08/26/200500665/sri-mulyani-yakin-utang-negara-bisa-dibayar-lewat-pajak-ini-kata-ekonom-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke