“SEJARAH sering dikisahkan dalam tonggak peristiwa besar. Namun sering hanya jadi hafalan anak sekolah. Sesungguhnya sejarah manjadi nilai humaniora justru ketika diberi ruang tafsir terlebih pada aspek-aspek kecil personal tokoh menghadapi peristiwa besar. “
Catatan di atas perlu saya garisbawahi terkait dengan pemutaran di kanal youtube “budayasaya" (18-25 Agustus 2021) saat memperingati kemerdekaan, yakni pemutaran karya-karya monolog bertajuk “Di Tepi Sejarah“ dengan produser Happy Salma dan Yulia Evinabhara dengan dukungan Kementerian Pendidikan Nasional.
Empat seri monolog ini terdiri dari “Amir, Akhir Sebuah Syair“ dengan pemeran Chicco serta sutradara Iswadi.
“Sepinya Sepi“ dengan pemain Laura Basuki disutradarai Haliana Sinaga.
“Radio Ibu” pemain Arswendy disutradarai Yustiansyah dan “Nusa yang Hilang “, pemain Chelsea Islan, sutradara Kamila Andini.
Saya perlu menggarisbawahi pementasan di saat pandemi dan penayangannya mengingat kerja ini membawa beragam perspektif yang penting terkait tafsir sejarah dan seni pertunjukan juga sastra.
Aspek pertama, seri monolog ini menjadi ruang mendewasakan keberagaman tafsir sejarah lewat sudut pandang tertentu. Sesuatu yang sering menjadi tabu karena khawatir melukai sejarah itu sendiri.
Padahal, justru peristiwa sejarah dan tokohnya adalah peristiwa kompleks yang tidak habis ditafsir, bahkan jika hanya ditafsir dalam tafsir tunggal formal, maka ia dimatikan. Sejarah akan kehilangan daya hidupnya untuk terus digali.
Sesungguhnya, peristiwa sejarah beserta tokohnya ibarat oasis di gurun pasir, menjadi sumber yang tidak habis guna menyiram keringnya tafsir pada kehidupan berbangsa.
Aspek ke dua, dalam rentang cukup lama, monolog sebagai gabungan tradisi lisan dan teater kehilangan cerita-cerita terkait peristiwa sejarah dengan tokohnya lewat tafsir personal.
Padahal, sejarah kebangsaan menunjukkan, para sastrawan hingga teaterwan menumbuhkan karya-karyanya ketika nasionalisme bertumbuh dan makna kemanusiaan ditafsir dan dikumandangkan.
Simak karya-karya di komedian stamboel dari awal abad 19 yang menjadi tonil hingga sandiwara seperti Miss Tjitjih yang banyak mengangkat tema-tema revolusi dengan beragam kisah -kisah kecil .
Sebutlah kisah tentang Nyai yang dipenuhi paradoks cinta, nasionalisme, ekonomi hingga Agama. Atau bahkan di film. Lihatlah karya “Lewat Jam Malam“ hingga “ Pagar Kawat Berduri “ menjadi sudut pandang lain terkait sejarah.
Demikian pula novel-novel yang memperolok kisah-kisah propaganda revolusi, sejarah menjadi lebih manusiawi dalam beragam perspektif guna ditemukan maknanya bagi peradaban
Aspek ketiga, era hiburan OTT (over the top) lewat Internet yang langsung masuk rumah seperti Netlix hingga Disney menjadikan dunia rumah dewasa ini mampu menikmati beragam film dunia dengam beragam tafsir. Demikian juga terkait sejarah dan tokohnya.