Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Reza AA Wattimena
Peneliti

Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta. Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Pernah mengajar di berbagai perguruan tinggi, seperti Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, Universitas Airlangga, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, Universitas Presiden, Program Pascasarjana Universitas Indonesia dan Universitas Multimedia Nusantara.

Dipeluk oleh Negeri di Atas Awan di Gunung Batur

Kompas.com - 04/08/2021, 07:32 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Inilah yang disebut sebagai Dharma. Dengan hidup sesuai dengan Dharma, orang akan menemukan pencerahan dan pembebasan dari penderitaan hidup.

Sebagai hukum alam, Dharma berlaku universal.

Ada dua yang menjadi pilarnya. Yang pertama, segala hal berubah. Tak ada yang bisa digenggam di dalam kehidupan ini.

Segalanya seperti air dan pasir. Digenggam erat, maka ia akan pergi.

Digenggam dengan lunak, ia akan menetap. Walaupun, dalam perjalanan waktu, ia tetap akan berubah.

Yang kedua, segala hal di dunia tidak akan mampu memberikan kepuasan yang sejati. Benda-benda berubah, maka nilainya pun berubah.

Kekayaan tidak melulu menjadi berkah, tetapi bisa menjadi kutuk yang mengundang kerakusan. Hubungan cinta yang hangat juga amat mungkin berubah menjadi dingin dan membunuh.

Kepuasan sejati hanya ada di dalam diri. Orang perlu melihat ke dalam, yakni ke kesadaran yang bercokol di dalam dirinya.

Di situlah rumah yang memberikan kebahagiaan yang seutuhnya. Tidak di tempat lain.

Masyarakat Bali punya pemahamannya sendiri tentang Dharma. Mereka menyebutnya sebagai Tri Hita Karana.

Secara harafiah, kata ini berarti “Tiga Penyebab dari Kebahagiaan maupun Kesejahteraan Hidup Manusia”.

Tiga penyebab itu adalah harmoni dengan Tuhan, harmoni antar manusia dan harmoni dengan alam.

Ketiga hal ini tampak dalam berbagai bentuk kerja sama di dalam masyarakat, guna mewujudkan harmoni tersebut.

Ritual keagamaan dan persembahan diberikan secara rutin kepada para Dewa.

Keindahan alam sungguh dirawat, supaya hidup sebagai keseluruhan bisa lestari.

Dengan Tri Hita Karana di dalam hati masyarakat Bali, seluruh keindahan alam dan budaya Pulau Bali menjadi amat terjaga.

Alam indah. Budaya terawat. Warga pun menemukan kebahagiaan dan kesejahteraan di dalam hidupnya.

Bukankah ini hidup yang sempurna?

Arsitektur Bali secara keseluruhan pun amat mencerminkan pemahaman Tri Hita Karana semacam ini.

Yang juga unik, Subak, sistem pengelolaan sawah khas Bali, secara langsung merupakan cerminan dari Tri Hita Karana.

Semuanya mencerminkan keterkaitan yang harmonis antara berbagai unsur yang berbeda-beda.

Tuhan, Manusia dan Alam berada dalam keterkaitan yang seimbang dan harmonis satu sama lain.

Di bawah sinar mentari pagi Batur, saya melanjutkan perjalanan. Saya seperti dipeluk oleh cuaca pagi.

Kabut pagi masih tebal, namun langsung disertai dengan cahaya matahari yang tajam, dan cuaca yang dingin menusuk. Tak terasa, ternyata sudah waktunya sarapan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com