Dengan begitu, kasus-kasus berat karena Covid-19 akan berkurang. Tingkat pelayanan rumah sakit serta tingkat kematian pun tidak akan setinggi saat ini.
Akan tetapi, menurut Heyman, mutasi virus Corona dapat sangat mengkhawatirkan. Meski begitu, seiring munculnya cara lain, kekhawatiran tersebut dapat berkurang.
"Virus juga bisa berkurang virulensi (keparahannya), baik karena mutasi atau karena sebagian besar populasi telah divaksin," ujarnya.
Baca juga: 14 Negara Ini Masih Nol Kasus Covid-19 sejak Awal Pandemi
Para ilmuwan masih belum tahu berapa lama imunitas dari vaksin Covid-19 yang ada sekarang bisa bertahan.
Penyebabnya, vaksin yang ada saat ini masih baru dan para peneliti masih menganalisis respons imun tubuh pada tipe vaksin yang berbeda.
"Belum ada yang tahu apakah kita butuh vaksin secara terus-menerus," ujar Heymann.
"Covid-19 adalah virus yang berbeda dengan flu, dan merupakan kesalahan membuat orang berpikir sebaliknya pada saat ini," imbuhnya.
Menurut para ahli, masih ada atau tidaknya karantina wilayah di masa depan bergantung pada keberhasilan program vaksinasi.
"Sejauh yang memungkinkan, karantina wilayah akan menjadi bagian dari langkah penting bagi pemerintah sebuah negara dalam menghadapi penyebaran kasus," ujar Nicholas Thomas, profesor di bidang keamanan kesehatan di City University Hong Kong, kepada Bloomberg.
Baca juga: Mencari Keteladanan di Masa Pandemi Covid-19
Para ilmuwan sepakat, penggunaan masker sangat penting untuk menekan penyebaran Covid-19, bahkan di wilayah dengan jumlah vaksinasi tinggi.
Menurut ahli perilaku publik dari University of Copenhagen, Christina Gravert, menggunakan masker jauh lebih baik ketimbang harus melakukan karantina wilayah akibat lonjakan kasus Covid-19.
"Sangat masuk akal untuk terus mengimbau orang-orang yang sakit untuk menjauh dari transportasi publik dan bekerja dari rumah, atau setidaknya memakai masker saat berada di sekitar orang lain," terangnya.
Setiap negara tentu memiliki aturan berbeda tentang perjalanan internasional. Akan tetapi, banyak negara ini mewajibkan pelaku perjalanan membawa sertifikat vaksin Covid-19.
Meski begitu, Heymann mengatakan, distribusi vaksin yang tidak merata membuat WHO tidak akan merekomendasikan "paspor vaksin", walaupun saat ini sudah banyak negara yang menerapkannya.
"Tentu tidak etis mewajibkan sertifikat vaksinasi bila orang-orang tidak bisa melakukan perjalanan, apalagi jika mereka tidak bisa divaksin karena alasan tertentu," ujar Heymann.
Baca juga: Pandemi Covid-19, Kematian Necropolitics dan Harapan Baru