Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Reza AA Wattimena
Peneliti

Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta. Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Pernah mengajar di berbagai perguruan tinggi, seperti Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, Universitas Airlangga, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, Universitas Presiden, Program Pascasarjana Universitas Indonesia dan Universitas Multimedia Nusantara.

Antara Bali, Panggilan Hati untuk Disembuhkan dan Pandemi

Kompas.com - 01/07/2021, 15:11 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Tak heran di tengah pandemi, orang-orang dari berbagai bangsa memutuskan untuk menetap di Bali, melepaskan tanah kelahirannya sendiri.

Mungkin, mereka merasa terasing di dunia modern yang serba cepat dan rakus. Mungkin, mereka merasa terasing dengan kampung halamannya yang miskin dari pesona spiritualitas.

Kedua alasan itu sungguh saya bisa pahami. Jauh di lubuk hati, keterasingan semacam itu pasti pernah kita hadapi.

Bali juga adalah pulau yang menyembuhkan. Ia menawarkan kelegaan bagi mereka yang tercekik dilema kehidupan.

Ia menawarkan senyum di tengah tetesan air mata petaka dan nestapa. Ia menawarkan kesucian dan keagungan di tengah dunia modern yang semakin dicekik oleh radikalisme agama dan korupsi nurani.

Sungguh, Bali adalah rumah untuk semua. Ini terlihat jelas dari ritual agama yang mereka lakukan.

Bhuta Kala, yang dianggap kejam dan mengerikan, pun diberikan persembahan pada hari-hari tertentu.

Bagaimanapun, ia adalah ciptaan Tuhan, maka ia mesti diberikan ruang. Ia tidak dibenci dan dibasmi, melainkan secara tulus diberikan persembahan, supaya bisa hidup damai bersama kita semua.

Bagi pencinta pantai, Bali adalah surga dunia. Bagi pecinta gunung dan hutan, Bali tak kalah mempesona. Bagi para pencari spiritual, Bali menyediakan ruang terbuka seluas semesta. Bagi para pencari rejeki, pesona pariwisata Bali adalah peluang untuk semua. Memang, Bali adalah rumah bagi kita semua.

Terkadang, jauh di dalam hati, saya merasa, Indonesia tak layak memiliki Bali. Di negeri yang diterkam korupsi tanpa henti dan radikalisme agama yang merusak, Bali menjadi contoh bagi kita semua.

Beberapa kali, Bali dibom oleh kaum radikalis Islam. Namun, Bali tetap hening, sembahyang dan melanjutkan kehidupan secara damai dengan semua yang ada.

Ia tetap terbuka. Ia tetap ramah. Kini, ia kembali memanggil saya.

Pandemi pun tak menjadi halangan bagi saya untuk menelusurinya dan menggali kebijaksanaan hidup dari pulau Dewata yang menjadi rumah untuk semua.

Seorang sahabat di Bali pasti akan menanggapi: Astungkara…

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com