Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ren Muhammad

Pendiri Khatulistiwamuda yang bergerak pada tiga matra kerja: pendidikan, sosial budaya, dan spiritualitas. Selain membidani kelahiran buku-buku, juga turut membesut Yayasan Pendidikan Islam Terpadu al-Amin di Pelabuhan Ratu, sebagai Direktur Eksekutif.

Radhar Panca Dahana, Merantau di Tanah Kelahiran Sendiri

Kompas.com - 23/04/2021, 12:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Bukan tak sering kami diliputi rasa malu teramat sangat bila melihat Mas Radhar tak henti berkarya. Buku, esai, dan puisi yang ditulisnya tetap jenial lagi bernas. Sarat dengan nilai luhur kebudayaan.

Pentas teaternya selalu menawarkan gagasan yang adekuat. Semacam rekaman skenografik kehidupan manusia dalam keadaan-kenyataannya. Satu lagi, kualitas bicaranya, bahkan sama bagus dengan ketika ia menulis.

Baca juga: Meninggal Dunia, Berikut Kiprah dan Perjalanan Hidup Sastrawan Radhar Panca Dahana...

Sejak kembali dari Prancis, lantas menerbitkan Jejak Posmodernisme: Pergulatan Kaum Intelektual Indonesia (2004), Mas Radhar terbilang getol menyuarakan pembelaannya pada rumah kebudayaan Indonesia yang diblejeti, dikebiri, bahkan diberangus dari akarnya--yang mirisnya, dilakukan oleh anak kandung negeri ini.

Ia tak henti menuai gelisah demi menjaga suluh yang kian padam itu. Saat pengampu kebijakan tak menaruh perhatian pada pegiat teater, misalnya, ia tampil di garda depan dengan mendeklarasikan Federasi Teater Indonesia pada 27 Desember 2004.

Pengabaian pada kebudayaan itu, sebenarnya sudah berlangsung sejak Indonesia merdeka. Para pendiri negara ini sibuk memodernisasi semua yang semula tradisional, dan lupa bahwa tak semua yang diwariskan masa lalu adalah kemunduran.

Padahal tanpa gotong-royong, musykil kiranya perjuangan kemerdekaan kita gilang gemilang. Begitulah kira-kira kritik pedas Radhar pada kesalahpahaman berpikir anak bangsa ini tentang jati dirinya yang asali.

Melampaui seni murni

Radhar adalah jenius Indonesia yang menyerap dengan baik peradaban Barat, tanpa kehilangan pamor yang ia punya selaku orang Timur. Ia meramu pergulatan kemanusiaannya sedemikian rupa, sehingga jadi kekayaan tak terkira bagi kami--terutama untuk bangsa Indonesia.

Suatu hari pada akhir 2020, pascamengalami stroke otak, Mas Radhar memanggil patik ke kediamannya di Pamulang. Waktu itu ia sudah kesulitan berbicara dan juga kehilangan banyak ingatan.

Malah sudah tak lagi menulis selama tiga bulanan. Sesak dada rasanya menyaksikan beliau dalam kondisi demikian. Ada airmata yang meleleh dalam hati ini.

Ajaibnya, lambat laun ia mulai kembali bisa menemukan diri nun jauh di kedalaman kesadarannya. Radhar yang menggentarkan itu hadir kembali. Tan Malaka, Sukarno, Hatta, Habibie, bahkan Gus Dur, habis ia kritisi. Hanya Sosrokartono yang ia puji. Sebuah kebiasaan yang jarang kami dengar dari Mas Radhar.

Kenapa ia menaruh hormat pada kakak kandung Kartini itu? Tak lain karena sosok itulah wujud manusia Indonesia sejati. Tiga dasawarsa mukim di Eropa, tak membuatnya tercerabut dari akar. Malahan ia berhasil menemukan mata air kesadaran yang khas masyarakat Bahari.

Begitulah kerja kebudayaan yang sesungguhnya diusung Radhar Panca Dahana. Ia sudah melampaui persoalan sumir seni murni. Peradaban manusia bahari adalah lokus utama yang melapiki spirit hidupnya. Di tengah himpitan perubahan zaman kiwari, Radhar merupakan cermin air bagi adab kita.

Ia seharusnya jadi pengingat bagi kita, betapa selama ini kita terasing di negeri sendiri. Berkhianat pada leluhur mulia. Ingkar pada amanah merawat-meruwat ibu pertiwi. Kita laksana perantau yang bahkan tak tahu hendak menuju ke mana. Lalu tumpas oleh waktu. Purnasia.

Radhar seperti mengajak kita menziarahi diri berulangkali. Tiada henti. Karena masing-masing kita di Nusantara tercinta ini, membawa sel punca kehidupan adiluhung yang pernah ada nun jauh di belakang waktu.

Bagi Radhar, jalan hidupnya adalah kebersahajaan. Ibu bumi, bapak langit, orangtuanya. Siapa pun yang mau membina diri jadi manusia, saudaranya. Islam yang ia peluk teguh, agama dengan corak kebaharian. Menampung seluruh aliran sungai kasunyatan.

Mugiya urat emas kehidupan Radhar Panca Dahana, menjadi inspirasi bagi para pelanjut peradaban--yang kelak menciptakan cakrawala pengetahuan baru, yang belum sempat digali oleh kita selaku penyaksi Abad-21.

Mas, derajat panjenengan inggil sanget... 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com