Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Agnes Setyowati
Akademisi

Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Pakuan, Bogor, Jawa Barat. Meraih gelar doktor Ilmu Susastra dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Aktif sebagai tim redaksi Jurnal Wahana FISIB Universitas Pakuan, Ketua Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat  Bogor, dan anggota Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara). Meminati penelitian di bidang representasi identitas dan kajian budaya.

Menilik Kembali Perjuangan dan Gagasan Kartini

Kompas.com - 21/04/2021, 08:46 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

21 April selalu kita peringati sebagai Hari Kartini untuk menghormati jasa-jasa perjuangan pahlawan nasional bernama R.A. Kartini Djojo Adhiningrat (1879-1904) yang juga dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi nusantara dan simbol kemerdekaan bangsa melalui gerakan feminis.

Umumnya, dalam perayaan Hari Kartini di Indonesia perempuan-perempuan kerap mengenakan sanggul dan kebaya sebagai penghormatan simbolik terhadap tokoh perempuan keturunan ningrat Jawa ini. Namun yang jauh lebih penting adalah melihat kontribusi dan pengaruh pemikiran Kartini bagi kemajuan Indonesia.

Gagasan-gagasan Kartini

Merayakan Kartini berarti merayakan serta mengkaji ulang pemikiran-pemikiran Kartini yang sangat inspiratif dalam konteks perjuangannya melawan penjajahan, ketidakadilan berbasis gender, serta berbagai persoalan sosial dan kultural lainnya.

Sebagai perempuan bumiputera keturunan Jawa yang hidup di era kolonial Belanda, perjuangan Kartini bergerak di level ideologis dan intelektual.

Melalui tulisan-tulisannya Kartini banyak berbicara tentang keprihatinannya terhadap kondisi masyarakat pribumi pada masa itu. Gagasan-gagasannya juga meliputi banyak persoalan mulai dari agama, kolonialisme, pendidikan, hingga sastra dan Seni.

Gagasannya ihwal keagamaan misalnya, Lilis Muchoiyyaroh (2019) dalam Rekonstruksi Pemikiran Kartini tentang Keagamaan untuk Memperkuat Integritas Nasional, Kartini sudah menyoal perihal praktik keagamaan yang bersifat ekslusif dan picik.

Kritiknya dialamatkan pada interpretasi teologis yang menekankan perbedaan dan kekerasan. Bagi Kartini, agama seharusnya dipahami dan berfungsi sebagai ajaran yang menekankan pada kasih sayang dan humanisme sehingga seharusnya mampu merangkul umat dengan berbagai latar belakang, dan tidak ada lagi kekerasan atas nama agama.

Sementara itu di level pendidikan, status sosialnya sebagai putri Bupati Jepara membuat Kartini dapat mengakses pengetahuan di Europes Lagere School (ELS) meskipun hanya hingga usia 12 tahun karena pada masa itu perempuan berusia 12 harus tinggal di rumah dan akan dipersiapkan untuk menikah.

Akan tetapi, semangat Kartini untuk melakukan emansipasi tidak lantas surut. Ia bersama saudara perempuannya aktif memberikan pendidikan kepada kaum miskin khususnya anak-anak dan perempuan. Bagi Kartini, pendidikan adalah senjata utama melawan segala penindasan.

Pentingnya pendidikan juga disuarakan Kartini dalam melawan kolonialisme. Okky Madasari dalam artikelnya Teori Kartini untuk Silicon Valley menulis, bagi Kartini penguasaan ilmu dari Barat adalah syarat menyaingi dan mengalahkan dominasi Barat. Namun, menguasai ilmu Barat tidak berarti menghamba pada Barat.

Selain itu, Kartini juga memiliki kegelisahan dalam hal ketidakadilan gender. Ia menggugat tradisi feodalistik Jawa yang dianggap memosisikan perempuan sebagai objek inferior yang hak-haknya banyak ditentukan oleh tradisi dan ideologi patriarki.

Kritiknya terhadap budaya Jawa ini didasari oleh pengalaman hidupnya sebagai puteri ningrat. Ia sangat prihatin akan nasib perempuan pada masa itu, terutama berkaca pada pengalaman saudara perempuannya yang dinikahkan dan dipoligami serta ibu kandungnya yang diperlakukan tidak adil dalam tradisi bangsawan Jawa.

Oleh karena itu, dengan segala keterbatasannya sebagai seorang perempuan, perlawanannya terhadap cengkraman tradisi Jawa ia lontarkan melalui permohonannya kepada suaminya, KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhinigrat, seorang bangsawan Rembang.

Sebelum menikah, Kartini memohon untuk tetap diberikan kesempatan memberikan pendidikan kepada rakyat jelata, menolak dibebani oleh hal-hal yang membuatnya tidak berkembang, serta meminta ibu kandungya (yang saat itu adalah salah seorang selir Bupati) untuk diperlakukan secara layak dan adil.

Setelah menikah, Kartini masih aktif menuliskan pemikirannya, salah satunya di majalah perempuan, De Hoandsche Lelie. Ia juga aktif menulis surat kepada sahabat-sahabatnya di Belanda seperti Stella Zehandelaar dan Rosa Manuela Abdendanon dan menceritakan tentang keprihatinannya akan nasib rakyatnya di bawah pemerintahan kolonial Belanda.

Pemikiran serta gagasan Kartini yang tertuang dalam surat-suratnya kepada sahabatnya ini kemudian didokumentasikan ke dalam sebuah buku oleh Jacques Henrij Abdenaon (suami dari Rosa Abendanon), Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda.

Buku itu berjudul Door Duisternis tot Licht (Dari Kegelapan Menuju Cahaya) dan diterbitkan kembali menjadi buku kumpulan surat Kartini pada tahun 1922 oleh Penerbit Balai Pustaka dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang.

Sayangnya, perjuangan Kartini terbilang singkat, ia meninggal di usia muda, yaitu 25 tahun pada 17 September 1904. Meskipun begitu, pemikiran Kartini meninggalkan pengaruh yang luar biasa hingga saat ini karena ia berjuang di level intelektual dan ideologis.

Sejak bukunya diterbitkan, kemudian didirikanlah Yayasan Kartini pada tahun 1916 yang aktif mengkaji dan melanjutkan pemikiran Kartini serta mendirikan sekolah untuk pemberdayaan perempuan di Surabaya, Semarang, Yogyakarta, Malang hingga Cirebon.

Gagasan yang monumental dan kritik yang fundamental

Meskipun harus berjuang di dalam cengkraman budaya feodalistik Jawa dan Kolonial, melalui gagasan dan pemikirannya Kartini mampu membuktikan bahwa kondisi sesulit apapun bukan rintangan baginya untuk maju secara intelektual dan merdeka dari penjajahan.

Sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer melihat sosok Kartini sebagai pemikir sosial karena gagasan-gagasannya yang analitik dan komprehensif serta kritikan-kritikannya yang bersifat fundamental-radikal.

Sebagai pejuang perempuan bumiputera yang hidup di era Kolonial, Kartini sudah mampu merumuskan dan memperjuangkan kemajuan untuk membebaskan rakyatnya dari kolonialisme. Ia bahkan tanpa ragu mengkritik tradisi bangsanya sendiri yang dinilai menjajah rakyatnya sendiri, terutama perempuan.

Kartini juga merupakan perempuan bumiputera pertama yang berpikir tentang fungsi sastra untuk menaikkan derajat dan peradaban bangsa, dan itu ia buktikan melalui tulisan-tulisannya karena ia sadar bahwa pemikiran bersifat monumental dan tidak akan pernah mati.

Dari Kartini kita belajar bahwa perjuangan sejati harus bertumpu pada kepentingan bangsa dan rakyat. Baginya segala bentuk perjuangan harus mengandung manfaat dan didasarkan kepada realitas demi untuk kepentingan bersama.

Sebagai bangsa yang pluralistik, kita juga belajar tentang pentingnya kemanusiaan di atas segala bentuk perbedaan, serta belajar terbuka dengan segala bentuk pemikiran dan pengetahuan untuk memajukan bangsa serta melawan hegemoni yang bersifat menjajah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Kronologi Kecelakaan Bus di Subang, 9 Orang Tewas dan Puluhan Luka-luka

Kronologi Kecelakaan Bus di Subang, 9 Orang Tewas dan Puluhan Luka-luka

Tren
Warganet Pertanyakan Mengapa Aurora Tak Muncul di Langit Indonesia, Ini Penjelasan BRIN

Warganet Pertanyakan Mengapa Aurora Tak Muncul di Langit Indonesia, Ini Penjelasan BRIN

Tren
Saya Bukan Otak

Saya Bukan Otak

Tren
Pentingnya “Me Time” untuk Kesehatan Mental dan Ciri Anda Membutuhkannya

Pentingnya “Me Time” untuk Kesehatan Mental dan Ciri Anda Membutuhkannya

Tren
Bus Pariwisata Kecelakaan di Kawasan Ciater, Polisi: Ada 2 Korban Jiwa

Bus Pariwisata Kecelakaan di Kawasan Ciater, Polisi: Ada 2 Korban Jiwa

Tren
8 Misteri di Piramida Agung Giza, Ruang Tersembunyi dan Efek Suara Menakutkan

8 Misteri di Piramida Agung Giza, Ruang Tersembunyi dan Efek Suara Menakutkan

Tren
Mengenal Apa Itu Eksoplanet? Berikut Pengertian dan Jenis-jenisnya

Mengenal Apa Itu Eksoplanet? Berikut Pengertian dan Jenis-jenisnya

Tren
Indonesia U20 Akan Berlaga di Toulon Cup 2024, Ini Sejarah Turnamennya

Indonesia U20 Akan Berlaga di Toulon Cup 2024, Ini Sejarah Turnamennya

Tren
7 Efek Samping Minum Susu di Malam Hari yang Jarang Diketahui, Apa Saja?

7 Efek Samping Minum Susu di Malam Hari yang Jarang Diketahui, Apa Saja?

Tren
Video Viral, Pengendara Motor Kesulitan Isi BBM di SPBU 'Self Service', Bagaimana Solusinya?

Video Viral, Pengendara Motor Kesulitan Isi BBM di SPBU "Self Service", Bagaimana Solusinya?

Tren
Pedang Excalibur Berumur 1.000 Tahun Ditemukan, Diduga dari Era Kejayaan Islam di Spanyol

Pedang Excalibur Berumur 1.000 Tahun Ditemukan, Diduga dari Era Kejayaan Islam di Spanyol

Tren
Jadwal Pertandingan Timnas Indonesia Sepanjang 2024 Usai Gagal Olimpiade

Jadwal Pertandingan Timnas Indonesia Sepanjang 2024 Usai Gagal Olimpiade

Tren
6 Manfaat Minum Wedang Jahe Lemon Menurut Sains, Apa Saja?

6 Manfaat Minum Wedang Jahe Lemon Menurut Sains, Apa Saja?

Tren
BPJS Kesehatan: Peserta Bisa Berobat Hanya dengan Menunjukkan KTP Tanpa Tambahan Berkas Lain

BPJS Kesehatan: Peserta Bisa Berobat Hanya dengan Menunjukkan KTP Tanpa Tambahan Berkas Lain

Tren
7 Rekomendasi Olahraga untuk Wanita Usia 50 Tahun ke Atas, Salah Satunya Angkat Beban

7 Rekomendasi Olahraga untuk Wanita Usia 50 Tahun ke Atas, Salah Satunya Angkat Beban

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com