Pada 31 Januari 1926 disepakati berdirinya wadah persatuan ulama dalam mempimpin umat menuju tercapainya "izzul Islam wal Musmlimin" atau kemuliaan Islam dan Muslim, yaitu Nahdlatul Ulama (NU).
Kemudian, Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar) dan kitab I’tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah.
Kedua kitab tersebut menjelaskan latar belakang dari khittah NU, yakni sebagai dasar berpikir dan bertindak dalam sosial, agama maupun politik.
Baca juga: Ini Susunan Lengkap Dewan Pimpinan Harian MUI Periode 2020-2025
Lambat laun, NU tumbuh menjadi organisasi yang mendapat respons positif dari masyarakat, tak hanya dari lingkungan pesantren.
Pada 1935, NU mendeklarasikan konsep Darussalam, yang tidak mengharuskan berdirinya negara Islam dan menjunjung tinggi keberagaman.
Tak hanya itu, NU juga mengeluarkan sebuah resolusi untuk menanggapi peluang kembalinya penjajah pasca-kemerdekaan.
Baca juga: Apa Itu RUU HIP yang Dipersoalkan NU dan Muhammadiyah?
Pada 1935, NU punya 68 cabang dengan 67.000 anggota.
Kemudian pada 1938, berkembang jadi 99 cabang, termasuk di luar Jawa. Organisasi baru tersebut tumbuh secara mandiri.
Saat Inggris mulai datang ke Surabaya, NU menerapkan "Resolusi Jihad".
Baca juga: Ramai soal Merger Bank Syariah, Ini Pendapat Sekjen MUI
Peran ini begitu terlihat pada 21 dan 22 Oktober 1945, saat pengurus NU se-Jawa dan Madura menggelar pertemuan di Surabaya untuk menyatakan sikap setelah mendengar tentara Belanda berupaya kembali menguasai Indonesia dengan membonceng Sekutu.
Pada 22 Oktober 1945, KH Hasyim Asy'ari menyerukan imbauan kepada para santri untuk berjuang demi Tanah Air.
Resolusi disampaikan kepada pemerintah dan umat Islam Indonesia untuk membela dan mempertahankan kemerdekaan bangsa. Hasil dari resolusi ini membawa pengaruh yang besar.
Baca juga: 22 Oktober, Mengingat Kembali Sejarah Penetapan Hari Santri