Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Soal Penambahan Emas dalam Makanan, Ini Kata Ahli Kimia LIPI

Kompas.com - 04/12/2020, 19:01 WIB
Nur Rohmi Aida,
Jihad Akbar

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Publik belakangan ini diramaikan dengan adanya tren makanan yang diberi lapisan atau topping emas.

Seperti beberapa waktu lalu, chef Arnold yang membuat pop corn emas hingga viral mengenai Indomie goreng yang diberi topping emas.

Lantas, bagaimana emas-emas ini bisa dimakan?

Peneliti dari Pusat Penelitian Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr Joddy Arya Laksmono, menjelaskan emas adalah termasuk ke dalam logam nobel atau bisa dikatakan sebagai logam mulia.

Adapun, jenis logam mulia yang umumnya dipakai sebagai bahan penghias makanan adalah jenis emas atau perak.

Ia menyebut, penambahan logam mulia ini pada makanan hanyalah sebagai penghias.

“Seperti dilansir dari laman European Commission bahwa penambahan logam nobel pada makanan tidak memberikan nutrisi tertentu pada makanan tersebut,” terang Jody dihubungi Kompas.com, Jumat (4/12/2020).

Baca juga: Tren Makan Makanan dengan Topping Emas, Berbahayakah bagi Kesehatan?

Pihaknya mengatakan, tren yang ada meskipun tidak selalu, pembuatan logam mulia untuk bahan makanan ini adalah menggunakan teknologi nano yang kemudian mensintesa logam nobel ini menjadi berukuran nano partikel.

Namun tak hanya sebagai bahan makanan, emas maupun perak menggunakan cara ini dimanfaatkan pula untuk berbagai fungsi. Seperti antimikroba, bahan aditif kosmetik dan sebagainya.

Proses sintesis, Jody menjelaskan, dilakukan dengan beberapa cara, yakni:

  • Sintesis kimia, yakni mereaksikan logam nobel dengan reduktor kimia, cara ini adalah yang paling populer.
  • Biosintesis (sintesis menggunakan enzim tertentu).
  • Teknologi hijau atau green technology (memanfaatkan ekstrak tanaman tertentu untuk membuat logam nobel berbentuk nano).
  • Proses sistesis juga ada yang dilakukan dari bongkahan logam yang diproses secara mekanik sedemikian hingga sampai membentuk logam berukuran nano.

Baca juga: Foto Viral Menu Indomie Goreng Topping Emas 24 Karat di Dubai, Ini Penjelasan Indofood

Namun, Jody menekankan setiap pemrosesan menjadi ukuran nano ini tak hanya berpengaruh pada ukurannya saja. Akan tetapi, juga berpengaruh pada sifat material.

Oleh karena itu, material yang disintesis harus memiliki biaoaktivitas yang sesuai dengan dokumen material safety data sheet (MSDS).

Proses pengujian diperlukan guna mengetahui bagaimana interaksi antara nano logam nobel dengan tubuh makhluk hidup khususnya manusia.

“Pengujian bioaktivitas yang dilakukan biasanya adalah uji inhibitor pada enzim untuk mengetahui potensi aplikasi nano logam nobel tersebut. Selain itu, dilakukan uji toksisitas untuk mengetahui ambang batas jumlah konsentrasi (dosis) yang diperkenankan yang tidak menimbulkan efek samping bahkan kematian,” jelasnya.

Baca juga: Kandungan Tempe yang Membuatnya Disebut Makanan Sehat

Jody mengatakan penambahan emas atau logam mulia lain dalam makanan tidak boleh sembarangan, harus melihat sejumlah syarat sebagai berikut:

  • Jika dihasilkan dari sintesis, maka perlu diyakinkan bahwa sintesis yang dilakukan berasal dari rute proses sintesis yang aman.
  • Jika pembuatan produk logam nobel bersifat top down (mekanik), maka perlu dipastikan tidak ada campuran logam lainnya dalam produk tersebut. Berdasarkan data dari European Commission, hanya emas murni (kode: E175) dan perak murni (E174) yang dapat dikonsumsi dan telah mendapatkan persetujuan dari Badan Pengawan Keamanan Pangan Eropa.
  • Dalam aplikasinya, perlu dibaca terlebih dahulu MSDS dari setiap produk logam nobel yang biasa digunakan sebagai penghias makanan terutama data toksisitasnya. Kelebihan dosis pemakaian tentunya akan mengakibatkan kepada efek samping yang buruk pada tubuh manusia.
  • Tentunya penambahan logam nobel sebagai penghias makanan juga perlu dilihat apakah bermanfaat atau tidak (bisa dilihat dari data bioaktivitasnya yang terdapat dalam MSDS).
  • Lihat cara penanganan pemakaian/konsumsi logam nobel akibat penggunaan yang berlebihan pada dokumen MSDS nya.
  • Perlu dilihat regulasi penggunaanya sebagai penghias makanan. Konsultasikan kepada BPOM sebagai otoritas regulator obat dan makanan di Indonesia.

Terakhir, Jody juga mengingatkan agar masyarakat lebih cerdas dalam menyikapi segala sesuatu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Prakiraan BMKG: Wilayah yang Berpotensi Dilanda Hujan Lebat, Angin Kencang, dan Petir 13-14 Mei 2024

Prakiraan BMKG: Wilayah yang Berpotensi Dilanda Hujan Lebat, Angin Kencang, dan Petir 13-14 Mei 2024

Tren
[POPULER TREN] UKT dan Uang Pangkal yang Semakin Beratkan Mahasiswa | Kronologi Kecelakaan Bus Subang

[POPULER TREN] UKT dan Uang Pangkal yang Semakin Beratkan Mahasiswa | Kronologi Kecelakaan Bus Subang

Tren
7 Gejala Stroke Ringan yang Sering Diabaikan dan Cara Mencegahnya

7 Gejala Stroke Ringan yang Sering Diabaikan dan Cara Mencegahnya

Tren
Kecelakaan Bus SMK Lingga Kencana, Izin Kendaraan Mati, Pengusaha Harus Dipolisikan

Kecelakaan Bus SMK Lingga Kencana, Izin Kendaraan Mati, Pengusaha Harus Dipolisikan

Tren
8 Tanda Batu Ginjal dan Cara Mencegahnya

8 Tanda Batu Ginjal dan Cara Mencegahnya

Tren
400 Produk Makanan India Ditandai Mengandung Kontaminasi Berbahaya

400 Produk Makanan India Ditandai Mengandung Kontaminasi Berbahaya

Tren
Kecelakaan Maut Rombongan SMK di Subang dan Urgensi Penerapan Sabuk Pengaman bagi Penumpang Bus

Kecelakaan Maut Rombongan SMK di Subang dan Urgensi Penerapan Sabuk Pengaman bagi Penumpang Bus

Tren
'Whistleblower' Israel Ungkap Kondisi Tahanan Palestina, Sering Alami Penyiksaan Ekstrem

"Whistleblower" Israel Ungkap Kondisi Tahanan Palestina, Sering Alami Penyiksaan Ekstrem

Tren
9 Negara Tolak Palestina Jadi Anggota PBB, Ada Argentina-Papua Nugini

9 Negara Tolak Palestina Jadi Anggota PBB, Ada Argentina-Papua Nugini

Tren
Vasektomi Gratis dan Dapat Uang Imbalan, Ini Penjelasan BKKBN

Vasektomi Gratis dan Dapat Uang Imbalan, Ini Penjelasan BKKBN

Tren
Pendaftaran CPNS 2024 Diundur hingga Juni 2024, Ini Alasan Kemenpan-RB

Pendaftaran CPNS 2024 Diundur hingga Juni 2024, Ini Alasan Kemenpan-RB

Tren
Profil Jajang Paliama, Mantan Pemain Timnas yang Meninggal karena Kecelakaan

Profil Jajang Paliama, Mantan Pemain Timnas yang Meninggal karena Kecelakaan

Tren
Dampak Badai Magnet Ekstrem di Indonesia, Sampai Kapan Terjadi?

Dampak Badai Magnet Ekstrem di Indonesia, Sampai Kapan Terjadi?

Tren
Dampak Badai Matahari 2024, Ada Aurora dan Gangguan Sinyal Kecil

Dampak Badai Matahari 2024, Ada Aurora dan Gangguan Sinyal Kecil

Tren
Penelitian Ungkap Lari Bisa Menyembuhkan Patah Hati, Berapa Durasinya?

Penelitian Ungkap Lari Bisa Menyembuhkan Patah Hati, Berapa Durasinya?

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com