KOMPAS.com - Demi menghindari pembubaran paksa oleh aparat keamanan, para pengunjuk rasa di Thailand selalu mengabarkan lokasi unjuk rasa di menit-menit terakhir menjelang aksi dimulai.
Para pengunjuk rasa menganggap cara ini efektif untuk mengurangi kemungkinan aksi dibubarkan, setelah pada pekan lalu aparat keamanan berhasil memukul mundur dan memaksa demonstran membubarkan diri.
Namun, dilansir dari Channel News Asia, Jumat (23/10/2020) rupanya langkah itu berhasil dibaca oleh para pedagang kaki lima (PKL) yang selalu mengetahui lokasi terjadinya demonstrasi sebelum aksi dimulai.
Demonstran seringkali mendapati bahwa para PKL telah memadati lokasi unjuk rasa, jauh sebelum para pengunjuk rasa hadir di sana.
Hal ini membuat para PKL dijuluki lebih canggih daripada CIA, organisasi intelijen Amerika Serikat, sebab kesuksesan mereka menebak lokasi demonstrasi yang bahkan tidak mampu dilakukan oleh otoritas Thailand sekalipun.
Baca juga: Massa Pro-Kerajaan Thailand Turun ke Jalan, Bentrok dengan Mahasiswa
Lihat postingan ini di Instagram
Ternyata ada trik yang dengan tekun dipelajari dan dibaca oleh para pedagang kaki lima tersebut.
Seorang pedagang bakso, Rattapol Sukpa mengatakan, dia selalu mengamati informasi yang beredar di Facebook untuk memprediksi di mana demonstrasi akan digelar.
Selain itu, dia secara aktif juga bertukar informasi dengan jaringan PKL lainnya. Rattapol mengatakan, aksi unjuk rasa membuat dagangannya laris-manis terjual habis.
"Sebelum ada demo pendapatan saya sudah cukup memuaskan, tetapi ketika berjualan di lokasi demo, dagangan saya jauh lebih laris dibanding biasanya," kata pemuda berusia 19 tahun itu kepada AFP, ketika dia tengah menggelar lapaknya di dekat Victory Monument.
The “CIA” are moving along with the protesters hoping to do good business wherever they stop. In Thai protests, food and particularly snacks are always important #????21???? #Bangkok #Thailand https://t.co/UYOTKeqmmw
— Richard Barrow in Thailand ???????????????? (@RichardBarrow) October 21, 2020
Baca juga: Unggah Foto Selfie saat Demo di Thailand Bisa Diancam Penjara 2 Tahun
Sejak gerakan protes dimulai pada bulan Juli, para PKL telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari setiap aksi yang digelar oleh masyarakat.
Rattapol menuturkan, berjualan saat demo berlangsung membuat penghidupannya menjadi lebih baik.
Hal itu memungkinkannya untuk menghabiskan dagangannya pada pukul 8 malam, bukan pada tengah malam seperti biasanya.
Berkat kehadiran Rattapol dan rekan-rekannya, aksi demo menuntut pengunduran diri Perdana Menteri Prayut Chan-o-cha dan reformasi monarki Thailand, juga terasa seperti festival jajanan kaki lima.
Berbagai makanan ditawarkan di lapak-lapak PKL, mulai dari olahan babi asam manis, bakso, hotdog, sup, acar buah, sate, dan juga minuman dingin.
Selain menggunakan gerobak dan lapak, beberapa PKL berjualan di atas sepeda motor. Hal ini membuat mereka lebih leluasa bergerak mengikuti demonstran.
Selain dirasakan oleh Rattapol, keuntungan besar dari berjualan saat aksi unjuk rasa juga diceritakan oleh Anucha Noipan, seorang pedagang ayam goreng.
Dia mengatakan, dalam sehari dia biasanya mampu menghasilkan sekitar 3.000 baht atau setara dengan Rp 1,4 juta. Namun, saat aksi unjuk rasa digelar, keuntungannya meroket hampir dua kali lipat.
"Sejak mulai berjualan di lokasi protes, saya telah melipatgandakan pendapatan saya menjadi sekitar 6.000 baht (Rp 2,8 juta) sehari," kata pria berusia 21 tahun itu.
Wherever there is a protest in Thailand, street vendors are there to sell food. Their effectiveness in reaching protest sites has earned them the nickname, "CIA". pic.twitter.com/sCYa9fo90L
— DW News (@dwnews) October 25, 2020
Baca juga: Pemerintah Thailand Awasi Media, Koordinasi Aksi Pindah ke Telegram
Meski demikian, Anucha mengungkapkan bahwa kehadirannya di lokasi unjuk rasa bukan semata karena mengejar keuntungan. Dia sadar dan mendukung gerakan reformasi yang tengah disuarakan oleh demonstran.
Dia juga mengatakan, dirinya menolak menjual ayam gorengnya kepada kelompok demonstran pro-pemerintah dan kerajaan.
"Saya kira, saya tidak memiliki pandangan politik yang sama dengan kubu Kaos Kuning," katanya. Kaos Kuning merujuk pada istilah yang digunakan untuk kubu pro-monarki.
Sementara itu, pedagang ayam goreng lainnya, Nattapol Sai-ngarm mengatakan, dia sadar akan risiko yang harus dihadapinya saat berjualan di lokasi yang rawan kerusuhan itu.
Namun, kesulitan ekonomi yang disebabkan oleh pandemi Covid-19 telah mendorongnya untuk mengambil satu-satunya pilihan yang tersisa.
"Awalnya saya takut akan dibubarkan polisi, tapi karena saya selalu berjualan tiap ada demo akhirnya saya menjadi terbiasa dengan situasi ini," kata Nattapol.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.Thailand’s very own CIA ???????? https://t.co/0uzYgfzvna
— English tutor ???????? ?????????????????? (@Nutchay48014463) October 23, 2020