Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Serikat Buruh Internasional Turut Kritisi Omnibus Law UU Cipta Kerja

Kompas.com - 06/10/2020, 15:49 WIB
Luthfia Ayu Azanella,
Rizal Setyo Nugroho

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang oleh DPR, Senin (5/10/2020), diwarnai sejumlah protes dari masyarakat, teurutama para buruh dan pekerja.

Mereka menuntut agar undang-udang ini dibatalkan karena banyak memuat aturan yang merugikan para buruh atau pekerja.

Selain gelombang protes dari dalam negeri, sejumlah organisasi buruh internasional juga mengkritisi aturan tersebut. Salah satunya Konfederasi Serikat Buruh Internasional (ITUC).

Disebut bisa meningkatkan kemiskinan

Melalui laman resmi ITUC, Sekretaris Jenderal, Sharan Burrow mengatakan UU Cipta Kerja yang baru saja disahkan DPR RI bisa menggangu terhadap program Sustainable Development Goals atau pembangunan berkelanjutan yang digagas oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

“Undang-undang yang luas dan kompleks ini merupakan serangan terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB (SDGs) oleh pemerintah Indonesia. Ini akan sangat meningkatkan kemiskinan dan menyebabkan kerusakan lingkungan demi menenangkan perusahaan multinasional," sebut Burrow.

Baca juga: Apa itu Omnibus Law Cipta Kerja, Isi, dan Dampaknya bagi Buruh?

Di sisi lain, keputusan yang diambil di tengah peliknya penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia juga menjadi sorotan tersendiri.

Pemerintah disebut semakin menyulitkan masyarakat, dan justru hanya akan menguntungkan pihak asing.

"Sungguh mengejutkan bahwa ketika Indonesia, seperti negara lain, tengah menghadapi pukulan akibat pandemi Covid-19, pemerintah justru bisa lebih mempersulit kehidupan masyarakat dan menghancurkan mata pencaharian mereka (dengan UU Cipta Kerja) sehingga perusahaan asing dapat mengambil kekayaan dari negara," ungkap dia.

Di dalam UU Cipta Kerja di antaranya disebutkan adanya ketentuan yang akan memotong upah pekerja, menghapus ketentuan cuti tertentu, dan merusak keamanan kerja.

Skala, kompleksitas, dan isi dari UU tersebut bahkan dikatakan sebagai pelanggaran tanggung jawab menurut hukum HAM internasional.

“Penghapusan hak-hak tenaga kerja, mencabut perlindungan lingkungan, privatisasi listrik, dan ketentuan lain dalam undang-undang, termasuk pendidikan akan berdampak buruk pada keluarga dan rumah tangga, menghambat transisi ke energi terbarukan, dan menaikkan harga listrik," jelas Burrow.

Menyerukan untuk dicabut

Burrow menambahkan, menyerahkan kendali pada perusahaan asing bukanlah cara memulihkan ekonomi dan ketahanan yanng diperlukan di tengah pandemi, di negara dengan dampak terparah di Asia Timur ini.

ITUC menyerukan pemerintah Indonesia segera mencabut undang-undang kontroversial ini, kemudian mengadakan diskusi dengan serikat pekerja untuk membahas setiap perubahan ketentuan ketenagakerjaan yang dibuat.

Baca juga: Rekam Jejak Pembahasan Omnibus Law UU Cipta Kerja hingga Disahkan

Selain organisasi buruh, organisasi lingkungan yang dengan keras menentang UU ini salah satunya adalah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).

Mengutip pemberitaan Kompas.com sebelumnya, Ketua Desk Politik Walhi, Khalisa Khalid mengatakan, pihaknya menyesalkan sikap DPR dan pemerintah yang meloloskan RUU ini menjadi UU.

"Keselamatan rakyat dan agenda penyelamatan lingkungan hidup akan semakin menemui tantangan yang lebih berat, karena sejak awal aturan ini memang menjadi 'karpet merah' untuk kemudahan investasi, khususnya industri ekstraktif," kata Khalisa.

Puluhan investor global juga mengingatkan risiko kerusakan hutan tropis Indonesia yang akan terjadi ketika UU ini dijalankan.

Baca juga: Investor Asing Peringatkan UU Cipta Kerja Ancam Hutan Tropis Indonesia

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com