KOMPAS.com - Istilah vaccine nationalism atau "nasionalisme vaksin" mulai berkembang setelah muncul peringatan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Agustus 2020.
Karakter Covid-19 yang sangat mudah menyebar meninggalkan keputusasaan global dan menumpukan satu-satunya harapan kepada vaksin.
Ketidakpastian dan kepustusasaan ini memaksa sejumlah negara kaya untuk membuat kesepakatan dengan pengembang vaksin demi bisa mengamankan jutaan dosis yang menjanjikan bagi warganya.
Inilah nasionalisme vaksin, kondisi ketika satu negara ingin mengamankan stok vaksin pertama demi kepentingan warga negaranya sendiri.
Padahal, pandemi virus corona merupakan wabah yang telah menginfeksi puluhan juta orang di seluruh dunia.
"Nasionalisme vaksin akan memperpanjang pandemi, bukan memperpendeknya. Jika dan ketika kita memiliki vaksin yang efektif, kita juga harus menggunakannya secara efektif," kata Tedros, dilansir dari Reuters, 16 September 2020.
Baca juga: Rilis Strategi Distribusi Global, WHO Peringatkan Tidak Lakukan Nasionalisme Vaksin
"Dengan kata lain, prioritas pertama haruslah memvaksinasi beberapa orang di semua negara, daripada semua orang di beberapa negara," lanjut dia.
Menurut Tedros, prioritas pertama harus diberikan kepada petugas kesehatan, orang tua dan mereka yang memiliki kondisi mendasar (komorbid).
Ketua eksekutif perusahaan biofarmasi India Biocon, Kiran Mazumdar-Shaw mengatakan, penemuan vaksin yang dapat digunakan pada populasi besar kemungkinan memerlukan waktu setidaknya satu tahun hingga 18 bulan.
"Sampai saat itu, kita harus menangani pasien dengan lebih efisien," kata dia, dikuti dari CNBC, 14 September 2020.
Padahal, Pemerintah Kanada berungkali menyatakan komitmennya untuk memastikan bahwa negara-negara miskin memiliki akses ke vaksin.
Akan tetapi, Kanada bukan satu-satunya negara yang berharap untuk 'menyerobot' antrian ketika vaksin dikirimkan.
Negara-negara kaya, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Eropa juga diperkirakan telah memesan lebih dari 2 miliar dosis vaksin.
Bahkan, Pemerintah Jepang pun disebut tengah berburu vaksin. Tokyo mengatakan ingin mengamankan dosis yang cukup pada paruh pertama 2021 untuk mengimunisasi semua warganya.
"Mengalah pada godaan nasionalis adalah keputusan yang salah. Ini tidak masuk akal secara strategis, ekonomis, dan medis," kata Wakil Direktur Center for Rule Makig Strategies, Tama University Brad Glosserman, dikutip dari Japan Times, 15 September 2020.
Baca juga: Lansia, Covid-19, dan Vaksin Flu di Tengah Pandemi...
Sejarah telah mencatat adanya pengalaman buruk terkait nasionalisme vaksin.
Gabungan obat antivirus untuk HIV di Barat pada 1996 mampu menyelamatkan banyak nyawa. Namun, butuh waktu 7 tahun agar obat itu tersedia secara luas di Afrika, benua yang paling terpukul
"Itu bencana dan pengalaman itu membekas dalam pikiran saya," kata Direktur Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Afrika, John Nkengasong, dikutip dari Sciencemag, 17 Juli 2020.
Selama pandemi influenza H1N1 2009, AS dan banyak negara Eropa menyumbangkan 10 persen stok dari vaksin mereka ke negara-negara yang lebih miskin.
Akan tetapi, sumbangan itu dilakukan setelah mereka sudah cukup untuk populasi warganya.
Karena H1N1 ternyata merupakan penyakit yang lebih ringan dan pandemi akhirnya mereda, dampak pada infeksi dan kematian akibat ketidakseimbangan vaksin menjadi terbatas.
Akan tetapi, Covid-19 adalah ancaman yang jauh lebih besar. Membiarkan sebagian besar orang di duna rentan tidak hanya akan membahayakan mereka, tetapi juga memperpanjang pandemi dan kerusakan yang ditimbulkannya.
Baca juga: Luhut Janji Vaksin Covid-19 di Indonesia Tersedia Desember 2020
Untuk menghindari pengalaman serupa, WHO dan organisasi lainnya telah menyiapkan sistem untuk mempercepat dan mendistribusikan vaksin secara merata melalui Fasilitas Akses Global Vaksin Covid-19 (COVAX).
WHO pun telah mengirim surat kepada semua anggota WHO yang meminta mereka untuk bergabung dalam upaya vaksin COVAX multilateral.
Menurut Tedros, 78 negara kaya kini telah bergabung dengan COVAX, sehingga totalnya menjadi 170 negara, termasuk Kanada dan Jepang.
Namun, beberapa negara kaya yang telah mengamankan pasokan mereka sendiri melalui kesepakatan bilateral, termasuk Amerika Serikat, mengatakan bahwa mereka tidak akan bergabung dengan COVAX.
Tedros berterima kasih kepada Jerman, Jepang, Norwegia, dan Komisi Eropa karena bergabung dengan COVAX selama seminggu terakhir.
Baca juga: 75 Negara Ingin Bergabung dengan Skema COVAX untuk Vaksin Corona