Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Apa Itu Nasionalisme Vaksin?

Kompas.com - 17/09/2020, 09:56 WIB
Ahmad Naufal Dzulfaroh,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Istilah vaccine nationalism atau "nasionalisme vaksin" mulai berkembang setelah muncul peringatan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Agustus 2020.

Karakter Covid-19 yang sangat mudah menyebar meninggalkan keputusasaan global dan menumpukan satu-satunya harapan kepada vaksin.

Ketidakpastian dan kepustusasaan ini memaksa sejumlah negara kaya untuk membuat kesepakatan dengan pengembang vaksin demi bisa mengamankan jutaan dosis yang menjanjikan bagi warganya.

Inilah nasionalisme vaksin, kondisi ketika satu negara ingin mengamankan stok vaksin pertama demi kepentingan warga negaranya sendiri.

Padahal, pandemi virus corona merupakan wabah yang telah menginfeksi puluhan juta orang di seluruh dunia.

Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus Shutterstock/Alexandros Michailidis Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus
Kepala WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus bahkan menyebut nasionalisme vaksin akan memperburuk pandemi.

"Nasionalisme vaksin akan memperpanjang pandemi, bukan memperpendeknya. Jika dan ketika kita memiliki vaksin yang efektif, kita juga harus menggunakannya secara efektif," kata Tedros, dilansir dari Reuters, 16 September 2020.

Baca juga: Rilis Strategi Distribusi Global, WHO Peringatkan Tidak Lakukan Nasionalisme Vaksin

"Dengan kata lain, prioritas pertama haruslah memvaksinasi beberapa orang di semua negara, daripada semua orang di beberapa negara," lanjut dia.

Menurut Tedros, prioritas pertama harus diberikan kepada petugas kesehatan, orang tua dan mereka yang memiliki kondisi mendasar (komorbid).

Ketua eksekutif perusahaan biofarmasi India Biocon, Kiran Mazumdar-Shaw mengatakan, penemuan vaksin yang dapat digunakan pada populasi besar kemungkinan memerlukan waktu setidaknya satu tahun hingga 18 bulan.

"Sampai saat itu, kita harus menangani pasien dengan lebih efisien," kata dia, dikuti dari CNBC, 14 September 2020.

Negara yang telah melakukannya

Ilustrasi vaksin Covid-19, vaksin virus coronaShutterstock Ilustrasi vaksin Covid-19, vaksin virus corona
Sebuah laporan menunjukkan bahwa Kanada telah memesan puluhan juta dosis vaksin Covid-19 dari perusahaan lokal.

Padahal, Pemerintah Kanada berungkali menyatakan komitmennya untuk memastikan bahwa negara-negara miskin memiliki akses ke vaksin.

Akan tetapi, Kanada bukan satu-satunya negara yang berharap untuk 'menyerobot' antrian ketika vaksin dikirimkan.

Negara-negara kaya, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Eropa juga diperkirakan telah memesan lebih dari 2 miliar dosis vaksin.

Bahkan, Pemerintah Jepang pun disebut tengah berburu vaksin. Tokyo mengatakan ingin mengamankan dosis yang cukup pada paruh pertama 2021 untuk mengimunisasi semua warganya.

"Mengalah pada godaan nasionalis adalah keputusan yang salah. Ini tidak masuk akal secara strategis, ekonomis, dan medis," kata Wakil Direktur Center for Rule Makig Strategies, Tama University Brad Glosserman, dikutip dari Japan Times, 15 September 2020.

Baca juga: Lansia, Covid-19, dan Vaksin Flu di Tengah Pandemi...

Pengalaman masa lalu

Sejarah telah mencatat adanya pengalaman buruk terkait nasionalisme vaksin.

Gabungan obat antivirus untuk HIV di Barat pada 1996 mampu menyelamatkan banyak nyawa. Namun, butuh waktu 7 tahun agar obat itu tersedia secara luas di Afrika, benua yang paling terpukul

"Itu bencana dan pengalaman itu membekas dalam pikiran saya," kata Direktur Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Afrika, John Nkengasong, dikutip dari Sciencemag, 17 Juli 2020.

Selama pandemi influenza H1N1 2009, AS dan banyak negara Eropa menyumbangkan 10 persen stok dari vaksin mereka ke negara-negara yang lebih miskin.

Akan tetapi, sumbangan itu dilakukan setelah mereka sudah cukup untuk populasi warganya.

Karena H1N1 ternyata merupakan penyakit yang lebih ringan dan pandemi akhirnya mereda, dampak pada infeksi dan kematian akibat ketidakseimbangan vaksin menjadi terbatas.

Akan tetapi, Covid-19 adalah ancaman yang jauh lebih besar. Membiarkan sebagian besar orang di duna rentan tidak hanya akan membahayakan mereka, tetapi juga memperpanjang pandemi dan kerusakan yang ditimbulkannya.

Baca juga: Luhut Janji Vaksin Covid-19 di Indonesia Tersedia Desember 2020

Upaya WHO

Untuk menghindari pengalaman serupa, WHO dan organisasi lainnya telah menyiapkan sistem untuk mempercepat dan mendistribusikan vaksin secara merata melalui Fasilitas Akses Global Vaksin Covid-19 (COVAX).

WHO pun telah mengirim surat kepada semua anggota WHO yang meminta mereka untuk bergabung dalam upaya vaksin COVAX multilateral.

Menurut Tedros, 78 negara kaya kini telah bergabung dengan COVAX, sehingga totalnya menjadi 170 negara, termasuk Kanada dan Jepang.

Namun, beberapa negara kaya yang telah mengamankan pasokan mereka sendiri melalui kesepakatan bilateral, termasuk Amerika Serikat, mengatakan bahwa mereka tidak akan bergabung dengan COVAX.

Tedros berterima kasih kepada Jerman, Jepang, Norwegia, dan Komisi Eropa karena bergabung dengan COVAX selama seminggu terakhir.

Baca juga: 75 Negara Ingin Bergabung dengan Skema COVAX untuk Vaksin Corona

KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo Infografik: Syarat Jadi Relawan Uji Klinis Vaksin Covid-19

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

7 Mata Uang dengan Nilai Paling Lemah di Dunia, Indonesia di Urutan Kelima

7 Mata Uang dengan Nilai Paling Lemah di Dunia, Indonesia di Urutan Kelima

Tren
Sejarah Head to Head Indonesia Vs Uzbekistan, 6 Kali Bertemu dan Belum Pernah Menang

Sejarah Head to Head Indonesia Vs Uzbekistan, 6 Kali Bertemu dan Belum Pernah Menang

Tren
Shin Tae-yong, Dulu Jegal Indonesia di Piala Asia, Kini Singkirkan Korea Selatan

Shin Tae-yong, Dulu Jegal Indonesia di Piala Asia, Kini Singkirkan Korea Selatan

Tren
Alasan Anda Tidak Boleh Melihat Langsung ke Arah Gerhana Matahari, Ini Bahayanya

Alasan Anda Tidak Boleh Melihat Langsung ke Arah Gerhana Matahari, Ini Bahayanya

Tren
Jejak Karya Joko Pinurbo, Merakit Celana dan Menyuguhkan Khong Guan

Jejak Karya Joko Pinurbo, Merakit Celana dan Menyuguhkan Khong Guan

Tren
10 Hewan Endemik yang Hanya Ada di Indonesia, Ada Spesies Burung hingga Monyet

10 Hewan Endemik yang Hanya Ada di Indonesia, Ada Spesies Burung hingga Monyet

Tren
Kemendikbud Akan Wajibkan Pelajaran Bahasa Inggris untuk SD, Pakar Pendidikan: Bukan Menghafal 'Grammar'

Kemendikbud Akan Wajibkan Pelajaran Bahasa Inggris untuk SD, Pakar Pendidikan: Bukan Menghafal "Grammar"

Tren
Semifinal Piala Asia U23 Indonesia Vs Uzbekistan Tanpa Rafael Struick, Ini Kata Asisten Pelatih Timnas

Semifinal Piala Asia U23 Indonesia Vs Uzbekistan Tanpa Rafael Struick, Ini Kata Asisten Pelatih Timnas

Tren
Gempa M 4,8 Guncang Banten, BMKG: Tidak Berpotensi Tsunami

Gempa M 4,8 Guncang Banten, BMKG: Tidak Berpotensi Tsunami

Tren
Soal Warung Madura Diimbau Tak Buka 24 Jam, Sosiolog: Ada Sejarah Tersendiri

Soal Warung Madura Diimbau Tak Buka 24 Jam, Sosiolog: Ada Sejarah Tersendiri

Tren
Kapan Pertandingan Indonesia Vs Uzbekistan di Semifinal Piala Asia U23 2024?

Kapan Pertandingan Indonesia Vs Uzbekistan di Semifinal Piala Asia U23 2024?

Tren
Penelitian Ungkap Memelihara Anjing Bantu Pikiran Fokus dan Rileks

Penelitian Ungkap Memelihara Anjing Bantu Pikiran Fokus dan Rileks

Tren
Swedia Menjadi Negara Pertama yang Menolak Penerapan VAR, Apa Alasannya?

Swedia Menjadi Negara Pertama yang Menolak Penerapan VAR, Apa Alasannya?

Tren
Bisakah BPJS Kesehatan Digunakan di Luar Kota Tanpa Pindah Faskes?

Bisakah BPJS Kesehatan Digunakan di Luar Kota Tanpa Pindah Faskes?

Tren
BMKG Ungkap Penyebab Cuaca Panas di Indonesia pada April 2024

BMKG Ungkap Penyebab Cuaca Panas di Indonesia pada April 2024

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com