Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Untar untuk Indonesia
Akademisi

Platform akademisi Universitas Tarumanagara guna menyebarluaskan atau diseminasi hasil riset terkini kepada khalayak luas untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Memahami Peran Public Relations di Masa Krisis

Kompas.com - 24/08/2020, 07:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Dra Paula Tjatoerwidya Anggarina, MM

"ACHMAD Yurianto Terima Penghargaan Public Relations of The Year", begitulah judul yang tertulis di media online Kompas.com, 15 Mei 2020.

Mengutip dari media tersebut, juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19 sekaligus Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Achmad Yurianto menerima penghargaan sebagai Public Relations of The Year dalam acara Indonesia Corporate Branding PR Award 2020 yang diadakan oleh Divisi Riset Iconomics dengan kriteria penilaian berdasarkan tiga pilar citra perusahaan yaitu komersial, organisasi, dan sosial.

Alex Mulya, Direktur Riset Iconomics, mengatakan bahwa public relations (PR) memiliki peran penting dalam menciptakan berita positif untuk mengimbangi berita negatif saat dihadapkan pada situasi dan kondisi krisis seperti saat ini.

Ketua Perhumas Agung Laksana menambahkan bahwa pandemi Covid-19 telah berdampak luas secara multidimensional.

Oleh karenanya, perlu sosok PR yang lebih inovatif dan kreatif dalam menyediakan konten bagi audiensnya.

Kutipan di atas dapat menjadi bahan refleksi bersama, bagaimana para praktisi PR bersikap jika dihadapkan pada situasi krisis.

Apa itu krisis?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, krisis adalah keadaan yang berbahaya (dalam menderita sakit) parah sekali, keadaan yang genting/kemelut, keadaan suram (tentang ekonomi, moral, dan sebagainya).

Ada beberapa definisi "krisis" yang dikemukakan oleh para ahli. Krisis diterjemahkan sebagai sesuatu yang datang secara mengejutkan serta menghadirkan ancaman bagi organisasi, perusahaan, atau industri, begitu juga terhadap publik mereka, produk, layanan, ataupun nama baik yang sudah dimiliki (Putra, 1999).

Coombs (2014) mendefinisikan krisis sebagai persepsi tentang peristiwa yang tidak dapat diprediksi, mengancam harapan para pemangku kepentingan terkait dengan masalah kesehatan, keselamatan, lingkungan dan ekonomi, dan secara serius dapat berdampak pada kinerja organisasi serta menghasilkan hasil negatif.

Tiga ancaman yang ditimbulkan adalah keselamatan publik, kerugian finansial, dan kehilangan reputasi.

Adapun elemen-elemen krisis bersifat tidak terduga, informasi tidak mencukupi, dan cepatnya dinamika yang terjadi (Argenti, 2009).

Jika dilihat dari perspektif PR, krisis sebagai peristiwa atau keadaan apa pun yang berdampak negatif terhadap reputasi, kredibilitas, merek organisasi atau individu (Debra Davenport, Ph.D-Purdue University, 2020).

Dengan melihat dampak negatif yang ditimbulkan, organisasi harus segera merespons jika terjadi krisis karena penampilan organisasi berada dalam penilaian publik (Putra,1999).

Komunikasi dan manajemen krisis

Untuk menangani krisis yang terjadi, dialog antara manajemen dengan publik diperlukan. Proses inilah yang dikenal dengan istilah komunikasi krisis.

Millar & Heath (2004) berpendapat bahwa ketika krisis mulai meningkat, hal yang paling penting untuk dilakukan adalah komunikasi.

Komunikasi krisis sebagai pengumpulan, pemrosesan, dan penyebaran informasi yang diperlukan untuk mengatasi situasi krisis (Coombs & Holladay, 2010).

Dalam situasi krisis, terjadi peningkatan arus informasi yang luar biasa, sistem komunikasi kehilangan keseimbangan, kandungan emosi dalam komunikasi krisis sangat mencolok, jaringan antara komunikasi antarpribadi dan komunikasi media, serta keterikatan manusia pada media massa mengalami lonjakan besar.

Dalam era media baru dan media sosial, keterikatan manusia tidak hanya sebatas pada media massa, tapi juga pada jejaring sosial.

Jaringan komunikasi antarpribadi meningkat melalui jejaring-jejaring sosial (Hardjana, 1998).

Dalam rangka menggabungkan komunikasi krisis menjadi kerangka yang lebih strategis, sejumlah peneliti mengategorikan fungsi ini sebagai manajemen krisis.

Pearson dan Clair (1998) mendefinisikan manajemen krisis sebagai upaya sistematis untuk menghindari krisis organisasi atau untuk mengelola krisis yang terjadi.

Ditambahkan oleh Coombs & Holladay (2010) bahwa manajemen krisis merupakan upaya pencegahan atau mengurangi hasil negatif dari krisis dengan melalui tiga tahap, yaitu pre-crisis, response to crisis, dan post-crisis untuk melindungi organisasi serta para stakeholder.

Pre-crisis

Tahap ini menitikberatkan pada pencegahan dan persiapan. Pencegahan termasuk mencari cara mengurangi risiko.

Adapun persiapan di antaranya membuat rencana manajemen krisis, memilih anggota tim krisis, melatih anggota tim agar dapat beradaptasi dengan krisis, mempersiapkan sosok terpercaya yang akan menyampaikan informasi pada publik.

Contoh kondisi ideal pada tahap ini adalah saat masih awal penyebaran/penularan Covid-19.

Aka tetapi, secara riil tahapan ini telah berlalu, di mana wabah Covid-19 telah dinyatakan sebagai pandemi yang menyebar luas dan pelayanan publik telah terkena dampaknya.

Oleh karenanya membuat perencanaan manajemen krisis akan sangat membantu menentukan langkah-langkah yang tepat seperti menetapkan prosedur pelayanan publik jika terjadi krisis yang lebih besar di kemudian hari.

Response to crisis

Tahap kedua, manajemen harus bertindak langsung merespon krisis. Rencana yang sudah disusun benar-benar diimplementasikan.

Respons krisis merupakan apa yang dilakukan dan dikatakan oleh manajemen saat krisis terjadi.

PR memegang peranan penting dalam merespons krisis tersebut, salah satunya membantu dan mendampingi proses pengembangan pesan yang dikirim atau disampaikan ke publik.

Post-crisis

Tahap ketiga adalah tahap di mana perusahaan atau organisasi dapat kembali menjalankan bisnisnya seperti semula.

Meski krisis tidak lagi menjadi perhatian utama, tetapi tetap membutuhkan perhatian lebih lanjut.

Organisasi diharapkan dapat memenuhi komitmen yang telah dibuat saat krisis dan disampaikan kepada masyarakat atau pihak terkait untuk informasi lanjutan.

Krisis dapat menjadi proses pembelajaran bagi organisasi untuk mencari cara lebih baik jika hal serupa terjadi di masa depan.

Contoh tahap post-crisis jika dihubungkan dengan situasi saat ini adalah masih diberlakukannya kebijakan work from home untuk mengurangi risiko penularan Covid-19.

Pengambil kebijakan perlu memiliki guidelines yang tepat guna mendukung efektivitas kerja atau belajar dari rumah.

Rencana strategis krisis harus didasarkan pada koordinasi antara fungsi manajemen, operasional, dan komunikasi.

Rencana darurat ada dalam dua bidang parallel yaitu respons operasional dan respon komunikasi di mana tim respons operasional berfokus pada penyelesaian masalah secepat mungkin dan tim komunikasi bertanggung jawab menginformasikan kepada kelompok pemangku kepentingan utama organisasi untuk memastikan pemahaman dan dukungan mereka dipertahankan (Kadarova, et al, 2015).

Peran public relations (PR) saat krisis pandemi Covid-19 yang mulai merebak di awal tahun 2020 telah menimbulkan krisis ke berbagai aspek kehidupan.

Pemerintah berupaya cepat melakukan tindakan pencegahan antara lain dengan membuat aturan atau imbauan kepada masyarakat untuk bekerja dan belajar dari rumah, beribadah di rumah, memulai hidup sehat dengan sesering mungkin mencuci tangan dan muka, menggunakan hand sanitizer, mengonsumsi makanan sehat serta perbanyak olahraga, mengenakan masker, jaga jarak, dan lain sebagainya.

Aturan atau imbauan ini harus dikomunikasikan secara efektif kepada masyarakat agar dipahami dan dipatuhi.

Oleh karenanya, dibentuklah tim public relations (PR) yang bertugas selain mengomunikasikan aturan atau imbauan tersebut, juga untuk menjalin hubungan baik antara masyarakat dan pemerintah.

Elemen komunikasi sangat dibutuhkan di masa pandemi seperti saat ini agar penyampaian informasi menjadi efektif.

PR dituntut beradaptasi dengan cepat, berinteraksi dengan metode baru, melahirkan program yang kreatif, inovatif, dan dikemas dengan storytelling menyentuh hati (Putra, 1999).

Penyampaian konten yang empatif dapat menciptakan trust dan persepsi positif (Imam Suryanto, Founder/CEO Bright Up Indonesia).

Pertanyaan kepada pihak media harus dijawab dengan cepat, akurat, terbuka, dan konsisten (Coombs & Holladay, 2010).

Terlebih dengan terbatasnya interaksi dan pergerakan manusia yang ditimbulkan karena pandemi, PR juga harus mengoptimalkan teknologi digital misalnya dengan meningkatkan penggunaan media sosial, seperti website, Instagram, Twitter, Facebook, podcast, Youtube, dan e-mail. Saat krisis terjadi, publik ingin tahu apa yang terjadi.

Ketika suatu organisasi dilanda krisis dan tidak berbicara ke media, maka orang lain di luar organisasi dengan senang hati akan memberikan pendapatnya ke media.

Hal ini tentu perlu dihindari. Oknum tersebut bisa saja memberi informasi yang tidak akurat dan tidak sesuai dengan kepentingan organisasi.

Oleh karenanya, organisasi dituntut untuk merespons krisis dengan cepat. Pesan kunci yang disampaikan oleh organisasi juga perlu memberikan isi yang akurat dan disampaikan secara konsisten.

Konsisten yang dimaksud adalah jangan sampai anggota organisasi memberikan informasi yang berbeda dengan anggota lainnya.

Semuanya harus sepakat untuk menyampaikan satu suara. Usaha untuk membentuk pesan kunci yang konsisten juga termasuk ke dalam bentuk manajemen krisis.

Memang tidak mungkin dalam situasi krisis hanya satu orang saja yang berbicara untuk mewakili perusahaan atau organisasi.

Bagaimanapun, tim komunikasi krisis harus memastikan bahwa juru bicara yang berbeda akan memberikan pesan yang konsisten.

Prinsip keterbukaan merupakan prinsip yang kontroversial. Kontroversi muncul akibat interpretasi yang berbeda terhadap pemahaman keterbukaan.

Interpretasi pertama, keterbukaan berarti orang-orang dalam organisasi (yang berwenang memberikan pernyataan) selalu siap dan bersedia berkomunikasi dengan para pemangku kepentingan, terutama bahwa organisasi sangat tertutup, berusaha menyembunyikan sesuatu, atau tidak mampu menangani krisis.

Interpretasi kedua, keterbukaan adalah pengungkapan secara terbuka sepenuhnya (full disclosure), yakni organisasi harus mengatakan semua yang diketahui tentang krisis segera setelah mendapatkan informasi.

Kepentingan hukum terkadang merekomendasikan keterbukaan secara terbatas (limited disclosure) karena pengungkapan secara terbuka sepenuhnya dapat membawa organisasi ke masalah hukum dan kerugian finansial.

Organisasi sebaiknya menyeimbangkan perhatian terhadap pemangku kepentingan finansial (misal pemegang saham atau pemberi pinjaman) dengan perhatian kepada pemangku kepentingan yang mengalami kerugian akibat krisis (misal anggota komunitas, pelanggan, atau karyawan).

Selain kecepatan, keakuratan, keterbukaan dan konsistensi dalam menyampaikan informasi, salah satu tugas PR yang lain adalah mengklarifikasi pemberitaan di media yang tidak seimbang.

Pemberitaan media atau isu yang beredar bisa jadi benar atau tidak, berpotensi memengaruhi citra seseorang atau organisasi (Nova & Firsan, 2011).

PR harus memastikan komunikasi berjalan dengan baik dan solid di kalangan internal maupun eksternal (Ratna Kartika, 2020).

Jawaban no comment dari seorang PR tidak dapat diterima karena hal ini dapat diinterpretasikan sebagai ekspresi dari rasa bersalah, keangkuhan, ketakutan, dan melalaikan tanggung jawab.

Praktisi PR harus memiliki standar etika, kualitas, akuntabilitas, integritas, dan profesionalisme.

Terlebih di saat krisis, seringkali harus mengembangkan dan mempelopori respons organisasi yang dapat mencakup penulisan pidato untuk CEO, mengelola konferensi berita, menyiapkan resposn media, meyakinkan audiens internal dan eksternal, serta berkonsultasi dengan tim eksekutif dan dewan direksi.

Hal yang menjadi tantangan utama PR adalah ketika memberikan nasihat kepada CEO sehubungan dengan respons publik organisasi (Debra Davenport-Purdue University, 2020).

Grunig (1992) juga mengatakan bahwa PR harus memiliki perencanaan strategis dan berperan dalam pengambilan keputusan melalui pemberian nasihat kepada CEO untuk meningkatkan hubungan dengan para pemangku kepentingan.

Dengan memahami peran PR yang telah diuraikan, PR profesional harus mengembangkan ketrampilan kepemimpinan yang unggul.

Dalam situasi krisis setiap orang akan meminta nasihat, arahan, dan bimbingan dari eksekutif PR (Debra Davenport-Purdue University, 2020).

Menjadi jelas bahwa PR memiliki peran kritikal dalam berbagai aspek sehingga menjadi amat strategis dan penting.

Idealnya fungsi PR adalah perpaduan fungsi manajemen dan fungsi komunikasi.

Sebagai fungsi manajemen, PR bertanggung jawab mengelola dan mengembangkan reputasi perusahaan, dan sebagai fungsi komunikasi, PR mengembangkan komunikasi antara organisasi dan publik untuk menciptakan dan mempertahankan goodwill dan mutual understanding public terhadap tujuan, kebijakan, dan kegiatan organisasi (Nova & Firsan, 2011).

Siapa yang sebaiknya menyampaikan informasi di saat krisis?

Barton (2001) mengidentifikasi tim krisis dapat terdiri dari unsur PR, hukum, keamanan, operasional, keuangan, dan human resources (SDM).

Namun, komposisi tim ini dapat bervariasi tergantung dari sifat krisis. PR memainkan peran penting dalam mempersiapkan juru bicara untuk menangani pertanyaan-pertanyaan dari media massa.

Kondisi krisis menyebabkan media menjadi hal penting yang dapat dimanfaatkan organisasi.

Juru bicara atau spokesperson yang dipercaya oleh organisasi harus bertemu dengan media pada tahap awal krisis untuk menyebarluaskan informasi dan berpartisipasi dalam membingkai krisis.

Dalam Strategy Insight Public Relations (2020) dikatakan bahwa sebaiknya yang menyampaikan informasi atau menjadi juru bicara saat krisis adalah:

  • CEO. Dalam krisis tingkat parah atau melibatkan cedera/kematian, CEO harus menjadi wakil organisasi untuk segera bertindak dan mengklarifikasi, serta menyatakan tanggung jawabnya untuk korban;
  • Public relations (PR). PR adalah pilihan yang sangat baik sebagai wakil organisasi di jam-jam pertama saat krisis terjadi dan wartawan mulai berdatangan. Namun, PR tidak harus menjadi suara tunggal seluruh krisis. Sebaiknya orang dalam divisi PR menjadi anggota dari tim manajemen krisis, terutama saat krisis komunikasi sangat diperlukan;
  • Jajaran manajemen. Jika orang PR diperlukan untuk memberikan informasi pada jam-jam pertama saat krisis, jajaran manajemen dapat mengambil alih di jam-jam berikutnya. Jika diperlukan, jajaran manajemen dapat menjadi juru bicara saat krisis sedang berlangsung. Baru pada saat jumpa pers, CEO dapat tampil sebagai juru bicara.

Dra Paula Tjatoerwidya Anggarina, MM
Kepala Hubungan Masyarakat dan Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Tarumanagara

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com