Apapun dalih pemerintah, angka-angka ini sangat mengecewakan. Meski menghadapi pandemi, pemerintah sudah diberi ruang lebih besar untuk menjaga pertumbuhan ekonomi dengan berbagai skema dan regulasi.
Dalam regulasi terkait penanganan pandemi, pemerintah memiliki kewenangan besar untuk mengelola keuangan negara selonggar-longgarnya tanpa potensi pidana.
Regulasi yang dimaksud adalah Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan COVID-19 yang telah disahkan oleh DPR menjadi UU.
Pemerintah sudah melakukan sejumlah upaya untuk mengatasi dan mengantisipasi terjadinya resesi mulai dari pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) hingga menggelontorkan dana besar untuk program pemulihan ekonomi nasional (PEN).
Anggaran PEN yang dimaksudkan guna memulihkan ekonomi nasional mencapai Rp 695 triliun. Namun, berbagai upaya tersebut belum menunjukkan hasil.
Buktinya, pertumbuhan ekonomi pada kuartal II jauh lebih buruk dari prediksi. Dan kondisi tersebut diprediksi akan berlanjut hingga kuartal III.
Sementara, hingga saat ini masyarakat diprediksi masih menahan konsumsi akibat efek pandemi. Konsumsi juga menurun karena lonjakan PHK karyawan yang masih terus terjadi.
Kebijakan ‘berdamai dengan pandemi’ atau new normal yang diharapkan bisa memulihkan perekonomian hasilnya juga belum kelihatan. Masyarakat masih membatasi diri. Industri juga takut beroperasi kembali. Imbasnya ekonomi akan tergerus lagi.
Berbagai kondisi ini disebut karena sejak awal pemerintah keliru menetapkan prioritas. Seharusnya saat pertama kali virus corona terkonfirmasi ada di Indonesia, pemerintah segera melakukan berbagai tindakan guna mencegah penyebarannya seperti karantina wilayah.
Namun, dengan dalih ekonomi pemerintah tak mau menerapkan kebijakan tersebut. Padahal perekonomian mustahil tumbuh jika negara gagal mengatasi pandemi.
Di sisi lain angka kasus Covid-19 masih relatif tinggi. Sejumlah daerah yang sebelumnya sempat dinyatakan ‘aman’ angka kasusnya kembali naik signifikan.