Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal Apa Itu Resesi Ekonomi dan Bedanya dengan Depresi Ekonomi

Kompas.com - 07/08/2020, 20:14 WIB
Dandy Bayu Bramasta,
Sari Hardiyanto

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Badan Pusat Statistik (BPS) merilis pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II tahun 2020 minus 5,32 persen.

Jika tren minus tersebut berlangsung hingga kuartal III tahun 2020, Indonesia bisa masuk ke jurang resesi ekonomi.

Sementara itu, sebanyak 9 negara telah mengalami resesi akibat pandemi virus corona yang berdasarkan Worldometers pada Jumat (7/8/2020) telah menjangkiti 19.261.406 orang.

Negara-negara itu adalah Amerika Serikat (AS), Jerman, Perancis, Italia, Korea Selatan, Jepang, Hong Kong, Singapura, dan Filipina.

Baca juga: Menilik Potensi Resesi Ekonomi Indonesia di Tengah Pandemi Covid-19...

Secara dua kali berturut-turut atau lebih, pertumbuhan ekonomi di kesembilan negara tersebut mencatatkan minus.

Ekonom Indef Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, Indonesia terancam mengalami depresi ekonomi jika persoalan pandemi virus corona tak segera selesai.

Depresi ekonomi ini akan lebih parah dari resesi.

Baca juga: Jepang Hadapi Babak Baru Pandemi Corona, Bagaimana Situasinya?

Menurut dia, suatu negara bisa dikatakan resesi apabila dua kuartal atau lebih mengalami pertumbuhan negatif.

"Misalnya kuartal II -5.32 persen dan di kuartal III minus lagi maka indonesia masuk resesi. Depresi terjadi ketika resesi berlanjut dalam dua tahun atau lebih. Contohnya depresi 1929-1933," kata Bhima saat dihubungi Kompas.com, Jumat (7/8/2020).

Baca juga: Indonesia Menuju Resesi Pertama sejak 1998?

Bhima menjelaskan, Indonesia masih terbuka kemungkinan untuk masuk ke depresi.

"Masih terbuka kemungkinan (depresi) karena penanganan pandemi yang belum optimal sehingga masyarakat masih menahan belanja. Padahal konsumsi rumah tangga merupakan motor utama perekonomian," jelas dia.

Baca juga: Iran, antara Perang Melawan Virus Corona dan Sanksi Ekonomi...

Perbedaan resesi ekonomi dan depresi ekonomi

Ilustrasi resesi ekonomishutterstock.com Ilustrasi resesi ekonomi

Ekonom senior Universitas Gadjah Mada (UGM) Muhammad Edhie Purnawan mengungkapkan, resesi adalah istilah dalam ilmu makroekonomi yang mengacu pada penurunan yang signifikan dalam kegiatan ekonomi.

Di mana, lanjutnya, konsensus dari para ekonom dunia menyatakan bahwa terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi riil selama dua kuartal secara berturut-turut (diminishing GDP) yang disertai dengan peningkatan jumlah pengangguran.

"Tetapi, kalau dengan acuan Biro Riset Ekonomi Nasional (NBER) di US yang biasanya secara resmi mengumumkan resesi, dinyatakan bahwa penurunan GDP riil selama dua kuartal berturut-turut itu tidak lagi menjadi definisi resesi," kata Edhie kepada Kompas.com, Jumat (7/8/2020).

Edhie Purnawan menambahkan, NBER mendefinisikan resesi sebagai penurunan signifikan dalam aktivitas perekonomian yang tersebar di seluruh (sebagian besar) sektor dalam perekonomian.

Dan itu berlangsung lebih dari beberapa bulan, yang biasanya bisa dideteksi dari jatuhnya GDP riil, pendapatan riil, lapangan kerja, produksi sektor-sektor industri, dan penjualan grosir dan eceran.

Baca juga: Emas Cenderung Naik Saat Terjadi Ketidakpastian Ekonomi, Mengapa?

Bedanya dengan depresi

Sementara itu, depresi menurut Edhie Purnawan adalah penurunan aktivitas ekonomi yang parah serta berkepanjangan.

"Dalam macroeconomics, depresi pada umumnya didefinisikan sebagai resesi ekstrem yang berlangsung selama tiga tahun atau lebih atau yang menyebabkan penurunan GDP riil minimal 10 persen," ucap Edhi.

Menurut pria yang juga bertugas sebagai anggota Badan Supervisi Bank Indonesia ini, depresi relatif lebih jarang terjadi dibandingkan resesi (yang lebih ringan).

Baca juga: Indonesia Menuju Resesi Pertama sejak 1998?

Depresi ekonomi terjadi cenderung disertai dengan pengangguran yang masif dan inflasi yang rendah. Lebih hebat lagi, disebut depresi hebat atau Great Depression.

"(Great Depression) adalah resesi ekonomi terbesar dan terpanjang dalam sejarah dunia modern. Great Depression ini dimulai dengan jatuhnya pasar saham US pada tahun 1929 dan tidak berakhir hingga 1946 setelah Perang Dunia II," jelas dia.

Lebih lanjut, imbuhnya, para ekonom dan sejarawan dunia sering menyebut Great Depression ini sebagai peristiwa krisis ekonomi paling dahsyat di abad ke XX.

Baca juga: Selain Motif Ekonomi, Kenapa Banyak Orang Tertarik Jadi Wakil Rakyat?

Indonesia alami pertumbuhan yang negatif

Edhie memaparkan, Indonesia kini mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif 5,32 persen pada kuartal II dan diharapkan pada kuartal III terdapat keajaiban sehingga minimal tidak tumbuh negatif.

"Meskipun Menkeu Sri Mulyani bahkan memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada kuartal III atau kuartal III 2020 berada di kisaran minus 1,6 persen hingga (positif) 1,4 persen," papar Edhie.

Estimasi tersebut adalah perkiraan sementara yang dibuat pemerintah dalam memprediksi pertumbuhan ekonomi 2020 di kisaran minus 0,4 hingga (positif) 1 persen.

Oleh karenanya, Edhie memiliki beberapa pandangan agar ekonomi Indonesia bisa diselamatkan.

Baca juga: Ramai soal Klaim Obat Covid-19 Hadi Pranoto, Ini Tanggapan Peneliti Mikrobiologi UGM

Ketika perekonomian mengalami proses adaptasi dan penyesuaian ekonomi terhadap kondisi baru, termasuk faktor-faktor produksi, konsumsi, dan distribusi yang pertama-tama memicu resesi, maka respons kebijakan serta aturan baru yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun bank sentral harus sama sekali berubah dan lain dari biasanya.

"Hal ini dalam ilmu ekonomi makro adalah elemen standar untuk memulihkan perekonomian. Bahkan pemenang hadiah Nobel Jean Tirole pernah menyampaikan bahwa seluruh respons kebijakan untuk menanggulangi resesi harus sama sekali berbeda dari kondisi business as usual," jelas Edhie.

Di antaranya, yakni pengelolaan aspek tenaga kerja, barang modal, dan sumber daya produktif lainnya harus mulai disiapkan sesegera dan seaman mungkin mengikuti protokol Covid-19 agar aman secara ketat dan bisa tetap produktif.

Baca juga: Ketersediaan APD, Risiko Tenaga Medis, dan Perlindungan Covid-19...

Kemudian, pekerja yang menganggur harus dicarikan jalan keluar untuk menemukan pekerjaan baru dan perusahaan harus bangkit meski dengan kuantitas yang lebih rendah tetapi harus dengan jiwa yang lebih spektakular, yang luar biasa. Yang ekstra-ordinary (kalau dalam bahasa sehari-hari).

"Kointegrasi antarpelaku usaha dan pemerintah menjadi wajib di sini. Kita bekerja sebagai tim bersama. Pemerintah, bisnis, akademisi, media, komunitas, beserta segala jenis Asosisasi Industri harus bantu-membantu bersama-sama dengan semangat yang luar biasa," kata dia.

"Harus bisa digerakkan dengan jiwa yang lain dari pada yang lain, yang sama sekali lain daripada biasanya," sambungnya.

Baca juga: Mengenal Apa Itu Resesi Ekonomi, Dampak, dan Penyebabnya...

Lalu, pemulihan ekonomi ini tidak bisa menyembuhkan dirinya sendiri dari kerusakan yang terjadi, maka kolaborasi, koordinasi, dan kointegrasi harus TSM (terstruktur, Sistematis dan Masif) dari semua elemen masyarakat.

"Dalam era Covid-19 ini, kita harus yakin seyakin-yakinnya kita tidak pernah sedikitpun ragu bahwa kita punya kekuatan, stabilitas, dan ketahanan sistem keuangan yang telah meningkat secara fundamental selama 10 tahun terakhir, meski virus corona telah menyebabkan penurunan," kata Edhie.

Namun, lanjutnya, ada hal yang harus diingat yakni 'alarm penting' tentang ketidaksetaraan atau ketimpangan ekonomi yang harus diperbaiki bersama dan menjadi momentum untuk berkointegrasi bersama-sama.

"Berbeda dengan kolaborasi dan koordinasi, kointegrasi adalah hubungan jangka panjang yang dimulai dari kesesuaian antar elemen pelaku ekonomi. Ini harus dieksploitasi bersama-sama dan dicari terobosan harian secara TSM," pungkas Edhie.

Baca juga: Pembukaan Mal, Dalih Ekonomi dan Ancaman Meningkatnya Pandemi Covid-19

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com