Laporan SAFEnet 2020 mengatakan, Indonesia memiliki tantangan besar untuk menegakkan hak digital. Tantangan bagi perlindungan hak mengakses informasi, Indonesia menghadapi kesenjangan digital, membesarnya kelompok orang yang tidak mampu, terjadinya sensor daring dan pemadaman internet.
Lalu tantangan dalam perlindungan hak berekspresi secara bebas adalah adanya regulasi internet yang bermasalah, terjadinya represi terhadap ekspresi yang sah, polarisasi komunikasi yang menghambat demokrasi, dan situasi yang tidak demokratis.
Sedang pada hak atas rasa aman, tantangan yang dihadapi Indonesia adalah pengawasan massal, penyadapan tidak sah, terjadinya peretasan data, belum kuatnya peraturan privasi.
Selama lebih dari dua dekade di Indonesia, saya telah menyaksikan korelasi kuat antara Internet dan demokrasi.
Secara historis, bisa dibaca di banyak literatur, penggunaan internet sejak tahun 1994 di Indonesia dinilai membantu untuk menggulingkan rezim Orde Baru yang korup di bawah Soeharto.
Dengan kata lain, teknologi digital melalui platform user-generated content (UGC) dan bentuk teknologi lainnya telah menciptakan demokrasi digital – perluasan ruang untuk mengekspresikan kebebasan berbicara di mayantara.
Dalam “Temu Demokrasi Digital 2014” yang digagas Forum Demokrasi Digital (FDD), menurut John Muhammad, ada 64 inisiatif di Internet berupa platform, website dan mobile apps yang berusaha memperbaiki demokrasi.
Selama waktu itu, saya melihat contoh yang bagus bagaimana Internet memiliki peran demokratisasi di Indonesia.
Tetapi dalam beberapa tahun terakhir, saya menyaksikan bagaimana Internet membalikkan semua yang kami banggakan.
Teknologi digital juga menciptakan masalah terkait akun palsu, disinformasi, penyebaran pidato kebencian, dan jaringan ekstremisme. Situasi ini memicu pertanyaan yang perlu dijawab: Apakah demokrasi terbunuh oleh digital?