KOMPAS.com - Rencana pemerintah menghidupkan kembali Tim Pemburu Koruptor (TPK) menuai pro kontra di tengah masyarakat.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menegaskan, tim tersebut nantinya akan berkoordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait pengejaran koruptor yang berstatus buron.
"Saya akan terus mengerjakan ini secara serius, tentang Tim Pemburu Koruptor ini," ujar Mahfud dalam konferensi pers yang disiarkan Kompas TV, Rabu (15/7/2020).
Baca juga: Terseret Kasus Djoko Tjandra, Ini Kekayaan Brigjen Prasetijo Utomo
Lantas, apa itu Tim Pemburu Koruptor (TPK) dan bagaimana sejarahnya di masa lalu?
Melansir Harian Kompas (28/2/2005), Tim Pemburu Koruptor (TPK) pertama kali dibentuk pada masa kepemimpinan Presiden SBY.
Tim yang merupakan tim pencari tersangka dan terpidana korupsi tersebut dibentuk oleh Wakil Presiden saat itu, Jusuf Kalla, pada akhir 2004.
Tim pemburu koruptor terdiri dari unsur Kejaksaan Agung, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta Polri, yang saat itu dipimpin oleh Jaksa Agung Muda Intelijen Basrief Arief.
Setelah Basrief pensiun pada 1 Februari 2007, ketua tim dijabat Wakil Jaksa Agung Muchtar Arifin.
Tim gabungan ini dibentuk dengan mengacu Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi yang diterbitkan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono.
Awal dibentuk tim tersebut berkonsentrasi memburu enam terpidana korupsi dan tujuh tersangka korupsi yang kabur dari Indonesia.
Baca juga: Selain Harun Masiku, Berikut Sejumlah Buronan Korupsi yang Kabur ke Luar Negeri
Mengutip Harian Kompas (13/9/2005), tim ini pernah memburu aset koruptor di Hong Kong dan Swiss.
Tim yang saat itu dipimpin Basrief Arief berada di Hongkong selama dua hari dan ke Swiss selama tiga hari untuk bertemu pejabat setempat.
Ketika itu aset yang diburu di Hong Kong adalah milik mantan Presiden Komisaris PT Bank Harapan Sentosa Hendra Rahardja (almarhum) sebesar 9,3 juta dollar AS.
Hendra Rahardja divonis penjara seumur hidup karena merugikan negara dalam korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Rp 1,95 triliun.
Sedangkan di Swiss adalah aset milik mantan Direktur Utama Bank Global Irawan Salim, sebesar Rp 500 miliar.
Baca juga: Termasuk Harun Masiku, Mengapa Singapura Jadi Tujuan Favorit Buronan Indonesia?