"Padahal itu (pondok) membawa kedekatan antar orang di sana," ujarnya saat dihubungi terpisah Kompas.com, Jumat (10/7/2020).
Dia mengamati orang-orang yang berada di berbagai pondok, seperti bagaimana mereka tidur, membersihkan badan, berwudu, dan sebagainya.
Menurutnya, kebersihan dan sanitasinya kebanyakan buruk. Seperti saat berwudu mereka tidak menggunakan air mengalir.
Sehingga ketika ada salah satu yang terinfeksi, akan menyebar ke banyak orang. Seperti pada penyakit kulit, penyakit mata, dan semacamnya.
Baca juga: Mengapa Warga di Makassar Tolak Rapid Test? Ini Penjelasan Sosiolog
Dia juga menyoroti mengenai rapid test sebagai syarat boleh kembali ke pondok. Menurut Windhu, itu tidak tepat.
"Rapid test tidak boleh dijadikan alat pengambil keputusan, itu ngawur semua, karena prosedurnya enggak begitu. Para pengambil kebijakan tidak mendengar para ahli seharusnya bagaimana," kata Windhu.
Windhu menjelaskan mengapa rapid test tidak boleh digunakan dalam kebiijakan. Rapid test mendeteksi respons imun.
Sementara itu respons imun tidak bisa muncul seketika setelah seseorang terinfeksi. Respons imun baru keluar setelah 7 hari terinfeksi.
Misalnya orang yang tertular kemarin, saat dites hari ini tentu saja hasilnya non reaktif alias negatif. Sehingga dia bisa menulari orang lain ketika dianggap tidak terinfeksi.
Baca juga: Soal Rapid Test di Indonesia, Siapa yang Dites dan Bagaimana Prosesnya?
Rapid test digunakan untuk syarat keluar masuk suatu daerah, mengikuti tes masuk perguruan tinggi negeri, dan juga kembali ke pondok atau asrama.
Jika ingin menggunakan rapid test, kata Windhu, harus sesuai prosedur. Tidak bisa hanya mengandalkan hasil sekali tes, tapi harus diulang 2 kali dan dalam jangka 7-10 hari (setelah tes pertama).
"Jika pada tes kedua hasilnya non reaktif, baru aman," kata dia.
Windhu menjelaskan, bagi yang hasilnya reaktif pun tidak berhenti sampai di sana, harus dilanjutkan ke tes PCR.
Pihaknya menyarankan untuk pesantren atau asrama yang sudah terlanjur menerima peserta didik, dibiarkan saja. Tapi mereka harus diisolasi dari masyarakat luar.
Baca juga: Pembukaan Mal, Dalih Ekonomi dan Ancaman Meningkatnya Pandemi Covid-19
Seperti masjid pondok yang biasanya juga dipakai bersama masyarakat luas, sebaiknya tidak digunakan bersama. Itu untuk mencegah penyebaran virus tersebut.
Lalu bagi pondok lainnya yang belum menerima siswa, jangan menerima dulu hingga aman.
Menurut Windhu selama daerah masih dinamis, warna zonanya masih berubah-ubah, artinya belum aman. Walaupun pondok berada di zona hijau, tapi para peserta didik yang datang berasal dari berbagai daerah.
"Kita ini enggak pernah belajar dari apa yang pernah kita alami jadi nekat terus, makanya Covid-19 ini enggak berhenti-berhenti selalu ada dan masih tinggi," tutupnya.
Baca juga: Jangan Ngeyel, Mengapa Saat Wabah Virus Corona Wajib untuk di Rumah Saja?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.