Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Apa Itu Travel Bubble?

Kompas.com - 15/06/2020, 06:44 WIB
Nur Rohmi Aida,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Sejumlah negara menerapkan kebijakan travel bubble di wilayahnya.

Terbaru, seperti diberitakan Bangkok Post, Jumat (12/6/2020), Pusat Administrasi Situasi Covid-19 Thailand (CCSA) telah menyetujui proposal penerapan travel bubble negara itu.

Indonesia juga berencana akan menerapkannya.

Seperti diberitakan Kompas.com, Minggu (14/6/2020), Indonesia berencana menerapkan travel bubble dengan 4 negara yakni China, Korea Selatan, Jepang, dan Australia.

Sebenarnya, apa itu travel bubble?

Melansir Smithsonian Magazine, travel bubble sering juga disebut travel bridge.

“Dalam travel bubble, negara-negara sepakat untuk membuka perbatasan mereka satu sama lain, tetapi menutup semua perbatasan untuk negara lain. Jadi, orang yang ada dalam travel bubble itu dapat bergerak bebas, tetapi di luar (bubble) tidak bisa masuk, ” ujar Per Block, seorang penelti dari Universitas Oxford, seperti diberitakan Smithsonian, 28 Mei 2020.  

Ia mengatakan, ide travel bubble untuk memberikan kebebasan tanpa menimbulkan kerugian.

Menurut Block, travel bubble adalah bentuk perluasan dari social bubble yang juga tengah ia teliti, dengan memasukkan lebih banyak orang yang dianggap aman untuk strategi mempersempit peluang penularan virus corona.Baca juga: Negara-negara ASEAN Tidak Masuk Travel Bubble Indonesia, Ini Alasannya

Apa saja yang dibutuhkan untuk menerapkan travel bubble?

Salah satu yang dibutuhkan untuk menerapkan travel bubble adalah keyakinan dan kepercayaan negara-negara yang bersepakat sebagai upaya mereka dalam menangani virus corona termasuk pengujian luas, pelacakan kontak, dan karantina efektif.

Block menilai, saat terbaik untuk membentuk ‘bubble’ adalah saat dua negara tak memiliki banyak kasus sehingga risiko penularan sangat kecil.

Ia mencontohkan Selandia Baru dan Australia yang jumlah kasusnya telah berhasil dikendalikan. 

Travel bubble juga masuk akal jika negara-negara tetangga memiliki jumlah kasus yang sama dan merespons dengan cara yang sama terhadap pandemi,” kata Block.

Dengan demikian, kedua negara tidak ada kebutuhan untuk menutup perbatasan dalam upaya melindungi warganya dari penambahan kasus yang lebih tinggi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com