Meskipun persoalan tengah diselesaikan dengan mempertimbangkan semua masukan dan sisi, mari kita tengok bagaimana semua ini terjadi.
Diawali dengan mogok 109 tenaga medis RSUD Ogan Ilir pada 15 Mei 2020. Saat mogok kerja, tenaga medis mengeluhkan alat pelindung diri (APD) yang minim, tidak ada rumah singgah dan minimnya insentif.
Faktanya, insentif sudah ada. Rumah singgah disediakan 34 kamar dengan kasur dan AC. APD yang dikatakan minim, jumlahnya ribuan di RSUD Ogan Ilir.
Karena keluhan itu tidak sesuai kenyataan, Bupati Ilyas mempersilakan tenaga medis yang di antaranya adalah para perawat dan sopir ambulans itu mogok selamanya untuk kemudian dicari tenaga baru.
Menurut Bupati Ilyas, mereka yang dipecat belum bekerja menangani pasien Covid-19. Saat datang pasien dengan kasus Covid-19, mereka bubar, tidak masuk.
Sambil memecat 109 tenaga medis yang mogok dan menolak menangani pasien Covid-19, Bupati Ilyas mempertanyakan etika tenaga medis. Etika mereka yang ada di garda terakhir yang menolak memulihkan, merawat dan menjaga kesehatan masyarakat.
Untuk ketegasan sikap Bupati Ilyas, saya memberikan dukungan. Tidak selayaknya tenaga medis berkelakuan sedemikian di tengah harapan tinggi disematkan kepada mereka di garda terakhir.
Setelah Surat Keputusan pemecatan ditandatangani Bupati Ogan Ilir, tenaga medis menyesali perbuatan mereka dan berharap bisa bekerja lagi. Namun, situasi sudah berubah. Posisi yang mereka tinggalkan bukan posisi yang tidak bisa diganti. Keputusan pemecatan kini mereka ratapi.
Memilih pulang kampung
Terkait pemutusan hubungan kerja (PHK) menjelang Idul Fitri, minggu lalu juga ada kisahnya meskipun berbeda.
Namanya Maulana Arif Budi Satrio (38). Rio, begitu panggilannya, memilih pulang kampung dengan berjalan kaki dari Jakarta ke Solo setelah terkena PHK.
Pulang kampung menjadi pilihan karena sudah tidak memiliki pekerjaan juga penghasilan dan harus menanggung sejumlah biaya, termasuk sewa tempat tinggal.
Rio jalan kaki dari Cibubur pada 11 Mei 2020 seusai subuh dan tiba di Gringsing pada 14 Mei 2020 menjelang malam. Sekitar 400 kilometer dijalaninya.
Di Gringsing, Rio dijemput teman-temannya Pengemudi Pariwisata Indoensia (Peparindo) untuk diantarkan ke Solo. Sampai di Solo, Rio diantar ke Graha Wisata Niaga untuk menjalani karantina selama 14 hari.
Sampai hari ini, Rio masih dikarantina sambil melupakan mimpinya soal Jakarta. Rio ingin menata masa depannya di kampung halaman di Kadiporo, Solo.
Jika kamu masih bingung apa beda mudik dan pulang kampung, apa yang dilakukan Rio adalah penjelasan soal pulang kampung. Sementara mudik dilakukan mereka di Hari Raya untuk segera kembali lagi ke tempat mereka berasal setelah hari raya.
Untuk mereka yang mudik pada Hari Raya, Jakarta tidak akan begitu saja menerima kembalinya mereka. Terlebih, Pembatasan Berskala Besar (PSBB) di Jakarta yang berakhir 22 Mei diperpanjang 14 hari hingga 4 Juni 2020.