Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

6 Tradisi Unik Lebaran di Indonesia, Apa Saja?

Kompas.com - 24/05/2020, 15:11 WIB
Retia Kartika Dewi,
Sari Hardiyanto

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Setelah berpuasa selama sebulan penuh, umat Islam di Indonesia akan merayakan hari kemenangan yang jatuh pada Minggu (23/5/2020).

Secara global, hari kemenangan setelah Ramadhan dikenal dengan Idul Fitri. Namun masyarakat di Indonesia juga mengenal Idul Fitri dengan istilah Lebaran.

Saat Lebaran, sejumlah umat Islam akan menunaikan ibadah shalat Id di masjid atau lapangan. Setelah itu, mereka akan memanjatkan doa-doa dan bersiap untuk bersilaturahmi ke tetangga dan sanak saudara.

Tetapi, tradisi tersebut akan ditangguhkan, ibadah shalat Id akan dilakukan di rumah masing-masing dan orang-orang menghindari kegiatan berjabat tangan.

Hal ini dikarenakan untuk memutus rantai penyebaran Covid-19.

Baca juga: Boleh Dilakukan di Rumah, Ini Tata Cara Shalat Idul Fitri

Meski begitu, Indonesia masih memiliki beragam tradisi unik saat Lebaran. Berikut rinciannya:

1. Grebeg Syawal di Yogyakarta

Warga masyarakat dan wisatawan saat berebut gunungan Grebeg Syawal di halaman Masjid Gedhe Kauman. KOMPAS.com / Wijaya Kusuma Warga masyarakat dan wisatawan saat berebut gunungan Grebeg Syawal di halaman Masjid Gedhe Kauman.

Dilansir dari Kompas.com, (2/9/2011), ada tradisi unik bernama Grebeg Syawal yang terkenal di Yogyakarta.

Grebeg Syawal merupakan sebuah ritual Keraton Yogyakarta dalam memperingati Idul Fitri yang dilangsungkan tepat pada 1 Syawal.

Sejumlah masyarakat percaya, Gunungan Grebeg membawa berkah dan ketenteraman.

Diketahui, upacara tersebut diawali dengan keluarnya Gunungan Lanang (Kakung) dan dibawa ke Masjid Gede Keraton Ngayogyakarta untuk didoakan.

Gunungan Lanang terbuat dari sayur-mayur dan hasil bumi lainnya. Dalam tradisi ini, Gunungan Lanang dikawal oleh prajurit keraton.

Pengawalan dilakukan karena sayur-mayur dan hasil bumi ini nantinya akan diambil secara berebutan oleh masyarakat.

Baca juga: [KLARIFIKASI] 67 Karyawan Indogrosir Yogyakarta Disebut Positif Virus Corona

2. Makan nasi Jaha di Sulawesi Utara

Hadijah Baderan atau biasa disapa Mbok Jango membakar nasi bulu (nasi jaha) di belakang rumahnya untuk disajikan pada Bakdo Kupat. Dalam usia tuanya ia tetap gesit dan lincah mengatur besar kecilnya apiKOMPAS.COM/ROSYID AZHAR Hadijah Baderan atau biasa disapa Mbok Jango membakar nasi bulu (nasi jaha) di belakang rumahnya untuk disajikan pada Bakdo Kupat. Dalam usia tuanya ia tetap gesit dan lincah mengatur besar kecilnya api

Di Sulawesi Utara, masyarakat Motoboi Besar melakukan tradisi Binarundak atau memasak nasi jaha bersama-sama.

Tradisi ini berlangsung selama tiga hari setelah Idul Fitri.

Sebenarnya, tradisi Binarundak tergolong baru dan terinspirasi dari tradisi Lebaran Ketupat yang dilakukan di Minahasa dan Gorontalo.

Yang membedakan adalah dalam Binarundak, bukan ketupat yang dimakan, melainkan nasi jaha.

Nasi jaha adalah makanan khas Sulawesi Utara yang terbuat dari beras ketan, santan, dan jahe. Campuran ini kemudian dimasukkan ke dalam batang bambu yang telah dilapisi daun pisang.

Bambu tersebut kemudian dibakar dengan serabut kelapa.

Saat matang, nasi jaha dinikmati beramai-ramai oleh para perantau yang pulang bersama masyarakat setempat.

Acara makan bersama pun menjadi ajang silaturahmi sekaligus sebagai ucapan syukur kepada Tuhan.

Baca juga: Melihat Makna Ketupat sebagai Fenomena Kebudayaan Indonesia...

3. Nyama Selam di Bali

Selanjutnya, tradisi Lebaran menarik lainnya ada di Bali. Di Bali, terdapat tradisi makan-makan atau Nyama Selam yang menyiratkan keberagaman agama dan keindahan toleransi beragama.

Nyama Selam artinya saudara dari kalangan Muslim, merupakan sebutan khas penduduk Bali yang mayoritas beragama Hindu kepada kerabat sekampung yang beragama Islam.

Salah satu tradisi yang kental dilakukan Nyama Selam adalah "ngejot" yang sudah berlangsung secara turun-temurun.

Menjelang Idul Fitri, masyarakat Muslim akan melakukan "ngejot" atau memberikan hidangan kepada masyarakat sekitarnya, tidak peduli apa pun agama mereka.

Tradisi ini sudah dilakukan sejak masa kerajaan dan hampir dapat ditemukan di sebagian besar daerah di Bali.

Tidak hanya masyarakat Islam, umat Hindu akan memberikan balasan dengan melakukan "ngejot" kepada umat Islam pada Nyepi atau Galungan.

Baca juga: Mengenal Kota Sharm el-Sheikh, Bali-nya Mesir

4. Perang Topat di Lombok, NTB

Warga saling lempar dengan ketupat saat tradisi Perang Topat, di  Pura Lingsar, Lombok Barat, Rabu (11/12/2019). Perang topat adalah tradisi di Lombok yang merupakan warisan leluhur dan diyakini merupakan simbol perdamaian dan pemersatu antar umat beragama.KOMPAS.com/FITRI RACHMAWATI Warga saling lempar dengan ketupat saat tradisi Perang Topat, di Pura Lingsar, Lombok Barat, Rabu (11/12/2019). Perang topat adalah tradisi di Lombok yang merupakan warisan leluhur dan diyakini merupakan simbol perdamaian dan pemersatu antar umat beragama.

Ketupat memang menjadi kudapan khas saat Lebaran. Namun, di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), ketupat dijadikan sebagai alat kerukunan antar umat Hindu dan Islam di Lombok.

Hal tersebut dikarenakan adanya tradisi Perang Topat atau Perang Ketupat. Tradisi ini memiliki ciri khas dengan saling melempar ketupat.

Namun, Perang Topat saat Lebaran umum disebut sebagai Lebaran Topat.

Setelah berdoa dan bersiarah, masyarakat akan melaksanakan Perang Topat di Makam Loang Baloq di kawasan Pantai Tanjung Karang dan Makam Bintaro di kawasan Pantai Bintaro.

5. Festival Meriam Karbit di Pontianak

Suasana festimal meriam karbit yang digelar Pemerintah Kota Pontianak, Kalimantan Barat, tahun 2019 kemarin.dok Pemkot Pontianak Suasana festimal meriam karbit yang digelar Pemerintah Kota Pontianak, Kalimantan Barat, tahun 2019 kemarin.

Di Pontianak, Kalimantan Barat, masyarakat akan melangsungkan Festival Meriam Karbit. Festival tersebut umumnya diadakan di tepian Sungai Kapuas.

Adapun perayaan ini biasanya digelar 3 hari yakni sebelum, saat, dan sesudah Lebaran.

Tak hanya itu, festival ini juga menjadi ajang perlombaan, di mana peserta yang memiliki meriam dengan bunyi paling kompak yang akan mendaparkan nilai paling tinggi.

Diketahui, pembuatan Meriam Karbit merogoh kocek sebesar Rp 15-30 juta. Meriam ini terbuat dari pohon kelapa atau kayu durian dan menghasilkan bentuk meriam yang panjang dengan bentuk silinder yang lebar.

Meriam ini dilengkapi dengan rotan yang digunakan sebagai pengikat meriam.

Konon, meriam ini dikenal untuk mengusir kuntilanak karena mengeluarkan suara yang bising.

6. Tumbilotohe di Gorontalo

Arkus yang dihiasi dengan lampu listrik dipadukan dengan ribuan lampu botol pada perayaan Tumbilotohe di Tabongo, Kabupaten Gorontalo, Senin (11/6/2018). Malam pasang lampu atau Tumbilotohe merupakan tradisi yang selalu dilakukan masyarakat Gorontalo dalam menyambut malam lailatul qadar pada hari ketiga menjelang hari raya Idul Fitri.ANTARA FOTO/ADIWINATA SOLIHIN Arkus yang dihiasi dengan lampu listrik dipadukan dengan ribuan lampu botol pada perayaan Tumbilotohe di Tabongo, Kabupaten Gorontalo, Senin (11/6/2018). Malam pasang lampu atau Tumbilotohe merupakan tradisi yang selalu dilakukan masyarakat Gorontalo dalam menyambut malam lailatul qadar pada hari ketiga menjelang hari raya Idul Fitri.

Di Gorontalo, ada tradisi bernama Tumbilotohe yang diselenggarakan untuk menyambut hari raya Idul Fitri.

Tumbilotuhe memiliki arti memasang lampu.

Tradisi ini telah berlangsung sejak abad XV masehi. Untuk melangsungkan tradisi ini, masyarakat setempat akan memasang lampu sejak tiga malam terakhir menjelang Idul Fitri.

Awalnya, tradisi Tumbilotuhe dilakukan untuk memudahkan warga memberikan zakat fitrah di malam hari di mana saat itu penerangan berasal dari lampu yang terbuat dari damar dan getah pohon.

Lambat laun, lampu diganti dengan minyak kelapa dan kemudian beralih menjadi minyak tanah.

Saat ini, tradisi pemasangan lampu sudah dilakukan dengan berbagai bentuk dan warna yang meriah. Lampu tidak hanya dipasang di rumah, tetapi di sejumlah tempat umum hingga di ladang.

Baca juga: Mengenal Apa Itu Zakat Fitrah, Fidyah dan Kafarat...

(Sumber: Kompas.com/Nabillla Ramadhian | Editor: Aloysius Gonsaga Angi Ebo, Ni Luh Made Pertiwi F, Kahfi Dirga Cahya)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com