Pada Februari 2020, virus Covid-19 sudah keluar China tetapi belum masuk ke Indonesia. Pemerintah, khususnya Menteri Kesehatan, masih menganggap enteng masalah ini.
Duta besar negara-negara sahabat dan perwakilan WHO mendesak Indonesia agar bersikap lebih serius dan segera mengantisipasi penyebaran virus Covid-19 di Indonesia.
Masyarakat mulai khawatir, berita-berita ancaman Covid-19 menyebar di jejaring komunikasi interpersonal. Harga masker mulai naik, empon-empon banyak dicari. Virus Covid-19 belum masuk tapi infeksinya mulai terasa.
Pada 2 Maret 2020, Presiden Jokowi mengumumkan kasus positif Covid-19 pertama di Indonesia yang menimpa 2 orang WNI di Depok. Berita ini menjadi headline di semua media massa tanah air.
Ketakutan menyebar dengan cepat, hal ini seperti terekam dalam peta emosi percakapan di Twitter oleh mesin Drone Emprit.
Kampus-kampus mulai melakukan antisipasi dengan menerapkan pembelajaran jarak jauh. Harga masker semakin mahal dan mulai jarang di pasaran. Kasusnya baru 2 orang tetapi beritanya telah menginfeksi ketakutan dan antisipasi.
Pada 12 Maret 2020, organisasi kesehatan dunia WHO menyatakan wabah virus Covid-19 sebagai pandemi, yang artinya virus Covid-19 sebagai wabah patogen baru yang menyebar dengan mudah dari orang ke orang di seluruh dunia.
Data-data penyebaran Covid-19 hingga akhir bulan Maret 2020, menunjukkan penyebaran Covid-19 di Indonesia dan di dunia semakin meningkat. Beberapa model matematika mengenai pola penyebaran Covid-19 dari para ahli beredar di grup-grup media sosial.
Semua model penyebaran Covid-19 menggambarkan pola yang sama, yaitu kenaikan penyebaran Covid-19 secara eksponensial.
Kekhawatiran publik meningkat dengan berita-berita bergugurannya tenaga medis di lapangan serta kekurangan alat pelindung diri (APD) dan fasilitas penunjang kesehatan lainnya di rumah sakit-rumah sakit berbagai daerah.
Berita ini memicu solidaritas sosial. Banyak komunitas masyarakat mengambil inisiatif dengan menyelenggarakan pengumpulan dana untuk membantu tenaga medis di lapangan.
Sebagai mana Rogers dan Siedel dalam penelitiannya diatas, respon orang terhadap berita yang mengkhawatirkan salah satunya adalah memunculkan solidaritas dan aksi sosial.
Di luar isu kurangnya APD dan fasilitas kesehatan lainnya, isu lockdown mulai meningkat. Berita mengenai beberapa negara yang telah mengambil langkah lockdown menyebar di media massa dan grup-grup media sosial.
Kelompok-kelompok masyarakat seperti organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Dewan Guru Besar Fakultas Kedokteran UI, dan individu-individu warga negara menyerukan diterapkannya kebijakan lockdown segera oleh pemerintah pusat. Di media sosial, isu lockdown kemudian menjadi isu yang kontroversial.
Dari rekaman mesin DroneEmprit yang diambil dalam rentang waktu 20 – 27 Maret 2020, total pembicaraan mengenai lockdown di Twitter mencapai 391.411 percakapan, dengan pola pro-kontra yang jelas.
Menurut Elizabeth Noelle-neumann (1974), pro-kontra sebuah isu merupakan prasyarat terbentuknya opini publik. Pro-kontra akan meningkatkan aliran informasi di jejaring sosial karena baik yang pro maupun yang kontra akan aktif mengeskpresikan pendapatnya. Artinya, penyebaran berita mengenai lockdown akan lebih cepat dan menjadi perhatian publik.
Dari uraian di atas, penyebaran virus Covid-19 memang sangat cepat dan mengkhawatirkan, tetapi lebih mengkhawatirkan lagi adalah penyebaran rasa takut, khawatir, putus asa dan kemarahan yang sangat cepat menghinggapi publik tanah air sebagai efek dari kecepatan penyebaran berita mengenai wabah Covid-19 beserta bumbu-bumbunya.
Belajar dari peristiwa-peristiwa di dunia, bahwa penyebaran virus Covid-19 walaupun cepat tetapi masih dapat kita tekan dan kurangi, tetapi kecepatan penyebaran berita terkait Covid-19 sudah tak terbendung lagi.
Di era digital saat ini, berita atau informasi mustahil dapat dibendung, terutama di negara demokratis.
Saat ini, penyebaran berita mengenai wabah Covid-19 beserta bumbu-bumbunya semakin cepat dan tidak dapat dihindari.